|
SETELAH satu tahun longsor di Leuwigajah, ternyata sampah Kota Bandung masih saja menjadi persoalan yang belum terpecahkan. Penyelesaian masalah sampah Kota Bandung selama ini yang lebih pada pencarian lokasi TPA baru, tentunya masih belum menuntaskan masalah sampah Kota Bandung. Penanganan masalah sampah tidak bisa dipecahkan dengan mencari lokasi TPA saja, tetapi harus memecahkan secara sistematis dari persoalan hulu ke hilir. Dari penyelesaian produksi sampah hingga ke pengolahan di TPA. Sebagai akibatnya, masalah sampah Kota Bandung belum benar-benar tuntas, melainkan hanya pengalihan masalah. Fenomena ini bisa dilihat dari munculnya kembali masalah "gunungan sampah" di beberapa TPS Kota Bandung. Upaya pemda dengan mencari TPA baru sampai saat ini masih menghasilkan "demo penolakan " dari masyarakat lokasi TPA, baik di TPA lama maupun yang terakhir di Cicabe. Demo penolakan tersebut sangat manusiawi terjadi,karena timbulan sampah tersebut tidak hanya volumenya yang sebanyak 7.500 m3/hari, tetapi juga bau dari sampah tersebut tidak cukup hanya memenuhi ruang seluas 7.500 m3. Selain itu masalah penyakit yang ditimbulkannya. Terlebih lagi fenomena longsor gunungan sampah Leuwigajah memberikan efek "trauma" bagi masyarakatnya. Dengan demikian, langkah Pemda Kota Bandung yang "tidak sistematis" dalam menuntaskan penanganan masalah sampah akan menuai masalah terus-menerus. Penyelesaian dengan mencari lokasi TPA satu ke TPA lainnya akan memindahkan persoalan satu ke persoalan lainnya. Bahkan akan merugikan pihak pemda sendiri, di mana kontrak belum selesai telah menuai masalah konflik sosial, yang pada akhirnya masalah ini akan menghasilkan pemborosan baik uang maupun waktu. Untuk itu bagaimana seharusnya agar masalah sampah Kota Bandung dapat teratasi dengan Tuntas ? Pelibatan stakeholder Masalah penanganan sampah selama ini masih didominasi oleh peran pemda, melalui Dinas Kebersihan. Sudah saatnya persoalan sampah ini melibatkan berbagai pihak, yaitu pihak masyarakat, perguruan tinggi, pengusaha, maupun pemda. Masyarakat sebagai produsen sampah sudah saatnya diubah mindset-nya bahwa persoalan sampah adalah persoalan kita bersama. Selaku produsen sampah, masyarakat perlu diposisikan untuk lebih memahami persoalan sampah. Persoalan sampah tidak cukup mengandalkan peran pemerintah karena secara tidak langsung mereka memberikan kontribusi dalam memproduksi sampah tersebut. Begitu juga dengan peran pihak yang lainnya, baik perguruan tinggi, pengusahan maupun pemda. Pihak perguruan tinggi memiliki peran yang cukup strategis dalam menjembatani antara visi pemerintah dengan masyarakat dalam hal pengelolaan sampah. Pihak pengusaha berperan dalam membantu pemerintah mengatasi masalah pemasaran dari hasil daur ulang sampah dan dalam hal mereduksi masalah sampah. Pihak pemda berperan penting dalam menetapkan kebijakan pengelolaan sampah. Sejauh ini belum terjadi upaya-upaya yang bersifat sinergi antarpihak-pihak tersebut dalam pengelolaan sampah Kota Bandung. Sudah saatnya pihak Pemda melakukan upaya pelibatan berbagai stakeholder tersebut dalam pengelolaan sampah Kota Bandung, bukankan gotong royong akan lebih ringan bagi pemda? Stakeholder kaum perempuan Adanya upaya-upaya pemerintah baik di tingkat pusat hingga tingkat daerah dalam menyetarakan pembangunan baik kepada kaum perempuan maupun kaum laki-laki. Karena, adanya kesenjangan peran kaum perempuan dibandingkan kaum laki-laki dalam pembangunan. Beberapa kebijakan nasional seperti Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999, UU No. 25 Tahun 2000 tentang Propenas 2000-2004 dan dipertegas dengan Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional sebagai salah satu stategi untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender, yang pada akhirnya membawa keberhasilan dalam upaya pembangunan. Menyoroti masalah peran kaum perempuan dalam penanganan masalah pengelolaan sampah Kota Bandung terutama pada fase pemilahan sampah kering dan basah di rumah tangga, dinilai memiliki potensi strategis. Selain adanya kebijakan pembangunan yang mengutamakan pemberdayaan bagi kaum perempuan juga adanya alasan-alasan yang bersifat psikologis seperti adanya kecenderungan yang lebih dominan pada aspek keindahan dan kebersihan bagi kaum perempuan. Dengan alasan ini maka dirasakan cukup "pas" mengedepankan kaum perempuan dalam upaya pengelolaan sampah Kota Bandung. Selain pertimbangan di atas, pertimbangan lainnya adalah refleksi dari fenomena keberhasilan kegiatan PKK yang membantu pembangunan kesejahteraan keluarga dimotori oleh kaum perempuan. Artinya kaum perempuan dapat menjadi agent of development dalam pembangunan masyarakat kita. Bentuk dan partisipasi seperti kegiatan PKK ini bisa diadopsi untuk kegiatan pengelolaan sampah Kota Bandung. Gerakan PKK dari tingkat pusat hingga tingkat lokal di lingkungan Kota Bandung dapat dicangkokkan tidak hanya pada masalah perbaikan Gizi ibu hamil dan balita tetapi juga masalah pengelolaan sampah. Pemberdayaan kaum perempuan Upaya pencakokan kegiatan pengelolaan persampahan melalui kegiatan PKK, perlu pendampingan dari berbagai pihak baik pemda melalui Dinas Kebersihan maupun pihak perguruan tinggi atau LSM-LSM yang peduli terhadap masalah perbaikan lingkungan serta Pihak swasta. Langkah strategi yang harus ditempuh dalam mewujudkan partisipasi masyarakat ini meliputi : 1. Pemda melalui Dinas Kebersihan melakukan kerja sama dengan pihak perguruan tinggi maupun LSM untuk melakukan pemberdayaan masyarakat khususnya ibu-ibu PKK mengenai pengelolaan sampah 2. Pihak LSM maupun perguruan tinggi melalui pengabdian masyarakat melakukan upaya-upaya pemahaman kepada pihak Pokja PKK di tingkat kelurahan, antara lain memberikan materi : * Memberikan pemahaman terhadap ibu-ibu kelompok penggerak PKK tentang masalah persampahan adalah masalah bersama. Juga adanya keuntungan-keuntungan ekonomi yang dapat diperoleh. * Memberikan pengetahuan proses pemilahan sampah basah dan sampah kering di rumah tangga. * Melakukan penjelasan terhadap proses daur ulang sampah * Melakukan praktik bersama antara pokja PKK dengan pihak LSM/perguruan tinggi. 3. Pokja PKK melakukan kegiatan yang sama hingga tingkat RW. 4. Pihak LSM maupun perguruan tinggi melakukan upaya monitoring melalui perlombaan-perlombaan kawasan pengelolaan sampah excellent untuk tingkat RW. Dengan demikian pihak masyarakat akan terpacu untuk mengelola sampah secara mandiri. 5. Pihak Dinas Kebersihan menyediakan sarana insinerator dan lahan pengolahan sampah di tingkat kelurahan. 6. Pihak Dinas Kebersihan membeli produk kompos hasil olahan masyarakat untuk dimanfaatkan oleh Dinas Kehutanan maupun Dinas Pertanian atau Dinas perkebunan setempat, agar dapat dimanfaatkan untuk pemupukan lahan perkebunan atau lahan kritis 7. Pihak swasta membantu penyaluran penjualan re-use sampah melalui pengembangan produk maupun peningkatan kualitas produk yang diminati pasar. Mudah-mudahan dengan strategi tersebut di atas tidak lagi terjadi persoalan sampah di Kota Bandung. Masyarakat kota menjadi aktif, cerdas dan terampil mengelola sampah.Oleh Ir. INA HELENA AGUSTINA, M.T.Penulis, Sekretaris Jurusan Teknik Planologi Unisba dan Anggota GMPL (Gerakan Masyarakat Peduli Lingkungan). Post Date : 20 Maret 2006 |