Dalam studi lapangan di Desa Ilir, Indramayu, Jawa Barat, terungkap, sebagai buruh tani, Ibu Wati hanya bisa membawa pulang upah Rp 700.000 dalam 25 hari kerja saat masa panen dari pemilik lahan. Beberapa tahun belakangan, masa panen hanya bisa dinikmati satu tahun sekali dari semula dua kali akibat banjir dan kekeringan yang datang bergantian. Padahal, itulah penghasilan yang bisa didapat karena pendapatan suami sebagai nelayan tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Kisah perempuan ini sekaligus memaparkan fakta perubahan iklim bukanlah proses yang netral jender. Meski perubahan iklim dirasakan semua orang, pengaruhnya bisa berbeda pada laki-laki dan perempuan karena perbedaan pengalaman yang dikonstruksikan kepada keduanya
Perubahan
Karena itu, perubahan iklim kemudian melahirkan bentuk ketidakadilan lain kepada perempuan, selain warisan bentuk ketidakadilan dari model pembangunan yang melakukan pendekatan patriarkhis. Salah satunya berupa beban ganda akibat dampak perubahan iklim. Pada 2006, Perserikatan Bangsa-Bangsa melaporkan 40 miliar jam waktu dihabiskan perempuan di seluruh dunia untuk mencari air.
Bentuk ketidakadilan lain adalah pengabaian semua pengalaman pribadi, termasuk yang diungkapkan dalam pola komunikasi yang khas dan pengetahuan perempuan tentang relasi tubuhnya dengan kekayaan alam, baik individu maupun kolektif, yang dipengaruhi kelas, etnisitas, usia, seksualitas, status perkawinan, wilayah hidup yang membuat perempuan memiliki keragaman pengalaman, peran, fungsi, dan posisi dalam mengelola kekayaan alamnya. Revolusi Hijau menjadi satu bukti pembangunan dunia berwajah patriarkhal, menjauhkan akses dan kontrol perempuan terhadap tanah dan alamnya.
Negosiasi
Putaran negosiasi perubahan iklim terus berjalan dengan alot dalam Pertemuan Para Pihak Ke-15 (COP-15) di Kopenhagen, Desember. Delegasi Indonesia dalam pertemuan climate hearing menyatakan pesimistis proses negosiasi bisa menguntungkan Indonesia di tengah negara industri, khususnya Amerika Serikat, yang terus bersiasat menghindar dari tanggung jawab dan pembahasan soal mekanisme pendanaan berbasis pasar dan utang luar negeri, termasuk mekanisme reduksi emisi akibat deforestasi dan degradasi hutan (REDD).
Pertanyaannya, bagaimana perundingan perubahan iklim jika ditarik pada entitas makhluk bumi bernama perempuan? Putaran negosiasi dalam COP-15 iklim lebih banyak berdebat soal mekanisme pendanaan berbasis pasar dan utang daripada membahas bagaimana seluruh makhluk bumi harus diselamatkan dari dampak perubahan iklim.
Perundingan tersebut jauh dari pembahasan mengenai kebutuhan spesifik perempuan. Tidak heran jika Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) tidak melihat Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai institusi negara yang penting untuk dilibatkan dalam upaya penanganan perubahan iklim. Akibatnya, hampir seluruh perumusan peta jalan perubahan iklim tidak melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan. Hasilnya, proses yang dibangun jauh dari kebutuhan spesifik perempuan dan tidak lebih hanya menempatkan perempuan sebagai obyek kebijakan.
Dalam sarasehan perubahan iklim yang dilaksanakan Civil Society Forum untuk keadilan iklim terungkap bahwa di banyak tempat, seperti di Nusa Tenggara Timur, perempuanlah yang lebih mengetahui kebutuhan pangan atau konsumsi keluarganya karena perannya sebagai pengelola bibit dan benih.
Maria Hartiningsih dalam Fokus, ”Jejak Samar Chico Mendes” (Kompas, 20 November 2009), menuliskan, pasar karbon tidak menyentuh nilai ribuan spesies tanaman dan keragaman hayati hutan. Bahkan, pasar karbon juga tidak menyentuh nilai jejak pengetahuan dan pengalaman perempuan dalam hutannya. Pasar karbon menegasikan esensi posisi dan peran perempuan dalam pengelolaan hutannya, antara lain dengan mengecilkan perempuan sebagai penjaga pangan (food gathering) yang melanggengkan reproduksi sosial perempuan dalam komunitasnya.
Kontrol
Selain akses dan kontrol yang dihilangkan, pasar juga tidak menghitung nilai kelembagaan perempuan dalam pengurusan kekayaan alam dan sumber-sumber kehidupan, termasuk di dalamnya aktivitas ritual keseharian perempuan dan beragam bentuk solidaritas antarperempuan. Sesederhana apa pun, ritual dan solidaritas itu merupakan bagian dari kelembagaan perempuan, bagian dari cara bertahan hidup di tengah krisis.
Karena itu, menjadi sangat relevan jika perempuan aktivis dunia menyerukan menolak mekanisme REDD sebagai jalan penanganan perubahan iklim karena REDD sangat jauh dari pemenuhan keadilan bagi perempuan dalam pengelolaan kekayaan alamnya.
Khalisah Khalid Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia; Gender Working Group Friends of the Earth International
Post Date : 17 Desember 2009
|