|
Nusa Dua, Kompas Pemerintah jangan hanya sibuk mencari dana penurunan emisi rumah kaca melalui upaya pencegahan deforestasi dan kerusakan hutan atau REDD. Benahi dulu tata pemerintahan yang baik guna mengelola dana itu dengan melibatkan publik sejak awal. Tanpa perbaikan tata pemerintahan, dana yang masuk rentan bocor dan tak akan sampai ke masyarakat. Mekanisme REDD juga bisa menjadi sumber konflik baru karena administrasi kehutanan yang tidak baik. Peringatan ini disampaikan sejumlah kalangan, mencermati getolnya Indonesia mendorong mekanisme REDD dalam Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) di Bali. "Ada masalah klasik di tata pemerintahan, yaitu korupsi, buruknya koordinasi antarlembaga dan antarsektor, dan kepastian hukum yang rendah. Jika ini tak diselesaikan, mekanisme apa pun yang diterapkan akan gagal," kata Wiwiek Awiati, peneliti senior Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Selasa (11/12) di Nusa Dua, Bali. Hal senada disampaikan Mas Ahmad Santosa, ahli hukum lingkungan. "Sistem pemerintahan belum menyerap aspirasi rakyat yang sesungguhnya karena reformasi birokrasi belum berjalan. Seluruh mekanisme REDD akan gagal jika tata birokrasi masih seperti ini," kata dia. Tata pemerintahan juga disinggung Emil Salim dalam wawancara dengan Kompas beberapa waktu lalu ketika topik pembicaraan menyangkut tata guna lahan dan perubahan tata guna hutan. Ia mengatakan, rancangan tata ruang seharusnya dibuat dengan pendekatan lingkungan, bukan hanya terkait pembuatan infrastruktur. Dalam kesempatan berbeda, mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja mengatakan, tata pemerintahan merupakan hal paling penting dalam seluruh inisiatif tingkat lokal. Hal ini terkait dengan munculnya berbagai inisiatif untuk hutan dari tingkat lokal. Misalnya, inisiatif Bupati Malinau yang bekerja sama dengan Bali Tropical Forest Foundation (BTRF), moratorium logging di Papua dan Aceh yang diprakarsai oleh para gubernurnya, juga di Kalimantan Tengah, yang bekerja sama dengan seluruh pihak terkait termasuk masyarakat lokal. "Yang terpenting adalah tata pemerintahan yang mampu melindungi mereka yang paling rentan," lanjut Sarwono. Semua itu terkait paradigma baru untuk memberikan nilai aset lingkungan pada sebuah hutan yang melibatkan semua pihak sekaligus mendapatkan pembiayaan jangka panjang dan berkesinambungan untuk konservasi dan masyarakat. Status hutan Ketua Badan Pengarah Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologi (Huma) Sandra Moniaga mengatakan, penetapan hutan di Indonesia bermasalah karena banyak kawasan bukan hutan ditetapkan sebagai hutan. Misalnya, permukiman di area Taman Nasional Gunung Halimun dan Salak, total 400 kampung yang sudah ada sebelum ditetapkan jadi taman nasional. "Kawasan yang disebut hutan oleh pemerintah sangat kompleks. Bagaimana nasib orang- orang yang ada di hutan itu jika mekanisme REDD diterapkan? Makanya, status hutan harus dijelaskan dulu," kata Sandra. Wiwiek menambahkan, mekanisme REDD yang akan diuji coba tahun 2008 harusnya jadi momentum untuk memperbaiki tata kelola hutan dan hak atas tanah. Karena, siapa pun pihak yang akan mendanai proyek ini pasti tidak menginginkan konflik atas area hutan yang telah diusulkan untuk REDD. (AIK/MH) Post Date : 12 Desember 2007 |