|
”Kita berdiam dalam suatu penggalan pendek sejarah manusia. Di antara zaman kendala ekologi dan zaman bencana ekologi”. George Monbiot menuliskan kalimat itu di bukunya, Heat. Zona nyaman. Itulah sepenggal era yang kita jalani sekarang. Kini pilihan ada di tangan manusia: berbuat seperti biasa seolah-olah tidak terjadi apa-apa (business as usual/BAU) atau segera menjalankan Plan B—seperti dituliskan oleh Lester R Brown. Kita adalah generasi paling beruntung. Saat ini merupakan sebuah jeda pendek, sebuah titik persimpangan eksistensial. Penting bagi generasi-generasi mendatang. Di titik itu kita harus memilih: bertindak sesuai prinsip BAU atau prinsip Plan B. Kenyamanan manusia diawali oleh penemuan bahan bakar fosil ribuan tahun lalu. Bahan bakar fosil lalu menjadi sebuah jalan keluar dari segala kendala dan ketidaknyamanan hidup manusia. Industri dan transportasi berkembang. Manusia terbebas dari ketakutan akan kelaparan, kondisi cuaca, dan serangan penyakit. Bahan bakar ini, selain bermanfaat bagi kehidupan, hasil pembakarannya mengeluarkan CO2 (karbon dioksida)—gas paling bertanggung jawab atas terjadinya pemanasan global. Hingga saat ini, selama pemenuhan energi dari bahan bakar fosil masih mencukupi, perdamaian dunia terjaga baik. Masyarakat negara maju bisa memanjakan diri, memenuhi keserakahannya lebih dari sekadar mencukupi kebutuhan. Bumi diperas Manusia sekarang berperilaku memeras bumi dan memaksa bumi untuk memberi lebih dari apa yang bisa dia berikan sesuai dengan kemampuannya. Kecepatan manusia mengonsumsi segala sumber daya alam dan hayati jauh lebih besar daripada kecepatan sumber daya alam memperbarui diri. Pohon meranti, misalnya, butuh waktu lebih dari 50 tahun untuk mencapai diameter batang lebih dari 50 sentimeter. Dengan mesin potong, ratusan tegakan pohon seukuran itu dibabat setiap hari. Di Kalimantan dan Sumatera, hal itu terjadi sejak tahun 1970-an(!) Belum lagi sumber daya alam berupa gas, minyak bumi, batu bara, dan bahan mineral lain yang pembentukannya butuh waktu jutaan tahun. Ketika sumber daya dieksploitasi, karbon yang ada di dalam bumi dilepaskan. Di luar emisi karbon, kehidupan di atasnya pun punah karena hewan-hewan kehilangan habitatnya akibat kegiatan pembukaan hutan. Hewan akan punah karena suhu bumi naik, yang mengakibatkan perubahan iklim. Perubahan iklim menyebabkan siklus kehidupan hewan terganggu. Uang tunai mengalir dalam waktu singkat, cash and carry, sementara dampaknya: tak tersembuhkan. BAU atau ”Plan B” Jika kondisi bumi yang sudah nyaris sampai pada ambang ketahanannya ini tidak segera diatasi dengan tindakan radikal, pemanasan global akan berlangsung lebih cepat. Jika tahun 2030 konsentrasi CO2 bertahan seperti saat ini (kemungkinan besar akan terjadi mengingat negara maju tidak mampu memenuhi kewajiban mengurangi emisi karbonnya 5-15 persen dari emisi tahun 1990 pada tahun 2012), bukan tidak mungkin pada 2030 konsentrasi CO2 akan sama seperti saat ini—sebab jumlah manusia semakin banyak sehingga emisi karbon pun semakin banyak. Jika kondisi itu tercapai, suhu bumi akan meningkat 2°C di mana semua sistem mayor akan mulai kolaps sehingga karbon yang ada dalam bumi akan terlepas ke atmosfer dan saat itulah perubahan iklim tidak dapat lagi dikendalikan. Saat itulah kehidupan bumi dipertaruhkan. Saat itulah sebagian besar kehidupan di muka bumi akan punah—serupa dengan berakhirnya zaman Permian 251 juta tahun lalu. Untuk mencegahnya, negara-negara maju harus memotong emisi karbonnya 90 persen dari emisi tahun 1990(!) Pada kondisi itu, akan terjadi konflik antarmanusia akibat perebutan sumber daya alam dan hayati. ”Tak pelak lagi, perubahan iklim adalah tantangan paling besar dan paling urgen saat ini,” ujar PM Inggris Tony Blair saat masih memegang jabatan. Bagaimana lalu Plan B harus bekerja? Inilah satu-satunya pilihan yang ditawarkan Brown, yaitu melakukan mobilisasi besar-besaran untuk menggembosi economic bubble sebelum dia mencapai titik ledak. Untuk itu perlu ada kerja sama internasional untuk menstabilkan populasi, iklim, permukaan air tanah, dan tanah. Juga harus ada kejujuran pasar—memasukkan kalkulasi lingkungan dan sosial pada produknya, dan menggeser pajak bukan pada produk, namun pada kerusakan lingkungan. Keempat, menghilangkan subsidi bahan bakar fosil sehingga jumlah konsumsinya dapat ditekan. Langkah lainnya adalah melakukan gerakan membangun ekonomi berkelanjutan berwawasan lingkungan. Last but not least, seperti tahun 1940-an saat Perang Dunia II, kepemimpinan Amerika Serikat menghadapi perubahan iklim amat dibutuhkan, yaitu soal penerapan kebijakan pembatasan jejak karbon. Inilah ”perang” kita mulai hari ini dan seterusnya. Perang untuk memenangkan kehidupan anak cucu kita.... Brigitta Isworo Laksmi Post Date : 22 April 2008 |