|
SATU dasawarsa sudah berlalu semenjak Ismail Serageldin, Wakil Presiden Bank Dunia, mengingatkan dunia mengenai perang baru yang akan menentukan nasib umat manusia. "Jika perang-perang abad ini banyak diakibatkan oleh persengketaan minyak bumi," katanya, "perang masa depan akan dipicu oleh perebutan sumber daya air." Mungkin tidak kebetulan bahwa hari-hari ini, tepat satu dekade setelah peringatan Serageldin, kita menantikan keputusan historis Mahkamah Konstitusi (MK) perihal gugatan judicial review terhadap UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air. Sebab, UU itu mencerminkan seutuhnya 'ramalan' Serageldin di atas. Lagi pula, keberadaan UU itu juga merupakan bagian integral dari kebijakan proyek Watsal (Water Sector Adjustment Loan) yang didanai Bank Dunia. Lolosnya UU ini dari gugatan judicial review merupakan syarat pencairan pinjaman tahap terakhir proyek tersebut. Di tangan MK-lah, kini, keputusan yang historis itu harus diambil. Dan, pertaruhannya sungguh sangat mendasar dan berjangka panjang. Tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa hari-hari ini kita akan menyaksikan moment of truth MK, kepada pihak mana MK akan menempatkan diri dalam "perang air" yang sangat menentukan kehidupan di masa mendatang. Perang air global Ramalan Serageldin yang dirujuk di muka sama sekali tidak mengada-ada. Walau mungkin belum bisa menggantikan perebutan sumber daya minyak bumi sebagai motif dasar konflik abad lalu (termasuk invasi militer AS ke Afghanistan dan Irak yang melanggar prinsip-prinsip moral pergaulan internasional), air telah menjadi "emas biru" yang menggiurkan. Dan sejak saat itulah, krisis air menjadi bencana ekologis yang bersifat global. Sesungguhnya aneh, atau malah absurd, bahwa di planet bumi yang dua pertiganya terdiri dari air, dewasa ini kita justru menghadapi kelangkaan air yang sangat serius pada skala global. Data yang ada sungguh sangat memprihatinkan. Menurut perkiraan para ahli, sejak tahun 1970-an persediaan air global per kapita telah turun 33%. Ini berakibat besar. Pada tahun 1998 diperkirakan ada 208 negara yang mengalami kelangkaan air. Jumlah ini diperkirakan akan bertambah sebanyak 56 negara sampai pada tahun 2025. Itu berarti, antara tahun 1990 dan 2025 jumlah orang yang hidup di negara yang kekurangan air akan melonjak dari 131 juta menjadi 817 juta orang! Mengapa itu terjadi? Mengapa planet bumi yang dua pertiganya terdiri dari air justru mengalami krisis kelangkaan air yang sedemikian parah dan masif? Terlalu banyak alasan yang luar biasa kompleks dapat dirujuk sebagai penyebab krisis ekologi global ini. Namun di atas segalanya, keserakahan manusia, "mesin hasrat" (desiring-machine, meminjam istilah Deleuze) yang tak akan pernah terpuaskan, harus disebut sebagai faktor paling penting dalam merusak bumi, fisiografi, vegetasi maupun geologinya, yang menghancurkan kapasitas bumi untuk menerima, menyerap, dan menampung air. Penggundulan hutan, penghancuran bukit-bukit, reclaiming batas pantai, polusi udara akibat industri, pertanian monokultur dsb yang gencar dilakukan demi mempertahankan "gaya hidup modern" telah mengikis kemampuan sistem ekologis bumi dan menjadikan "perang air" ancaman bagi keberadaan umat manusia. Diktum Gandhi sekali lagi terbukti, "Bumi cukup untuk memenuhi kebutuhan kita semua, namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan segelintir kecil orang yang serakah." Vandhana Shiva mengingatkan --dan saya kira dia benar-- salah satu elemen paling mendasar dari perang baru itu adalah "perang paradigma", yakni bagaimana kita, sebagai manusia, memaknai fungsi dan hakikat air. Di situ, pada skala global, kita menyaksikan pertarungan dua cara pandang yang sekaligus menentukan bagaimana air dimaknai secara konkret: paradigma pasar, yang melihat air tidak lebih dari sekadar "komoditas siap jual", tidak beda dengan mobil, sepatu, atau bahkan minyak bumi; dan, paradigma yang bertentangan secara diametral, yang ingin saya sebut (walau dengan risiko disalahpahami) paradigma religius yang memaknai air sebagai pemberian dan sekaligus matriks kehidupan itu sendiri. Sengaja saya menggunakan istilah paradigma religius, karena menurut saya paradigma ini berakar pada hakikat religiusitas yang otentik: pemuliaan kehidupan. Air adalah matriks dasar kehidupan; air terberi (given) dan tak tergantikan. Singkatnya, air memiliki derajat ontologis yang sama sekali berbeda dengan komoditas lain, entah mobil, pakaian, kulkas, televisi, minyak bumi, dsb. Perbedaan derajat ontologis inilah yang merupakan cacat paling serius dan fundamental dari paradigma pasar yang melihat air sekadar komoditas yang siap dijual, menjadi apa yang sering disebut "emas biru" itu. Teknologi paling canggih pun tidak mampu menciptakan air (walau kita tahu air terdiri dari dua atom hidrogen dan satu atom oksigen), sehingga kita tidak lagi membutuhkan ekosistem bumi untuk menyimpan, memelihara, dan menghasilkannya. Apalagi--yang jauh lebih fundamental--fungsi dan hakikat air tidak tergantikan. Kita dapat hidup tanpa mobil, handphone, pakaian, atau minyak bumi. Tetapi jelas sekali, kita tidak dapat hidup tanpa air. Dan, tidak ada yang mampu menggantikan fungsinya sebagai penunjang, atau bahkan pemelihara kehidupan di planet bumi. Dua paradigma itu melahirkan cara penyikapan dan pengelolaan air yang sama sekali berbeda. Jika air dipahami sekadar sebagai komoditas, maka tidak ada yang salah jika segelintir orang yang memiliki modal cukup menguasai sumber-sumber air dan menjadikannya barang dagangan yang menggiurkan, "emas biru" yang menambah tinggi tumpukan kekayaan, apalagi pada zaman "perang air" sekarang. Tetapi jika air dipahami sebagai pemberian dan matriks dasar kehidupan, maka seyogianya tidak seorang pun berhak mengaku diri sebagai "pemilik" air. Manusia, seperti juga seluruh makhluk hidup lainnya, hanya memiliki hak memanfaatkan air sesuai kebutuhan untuk mempertahankan kehidupannya. Air adalah milik kehidupan; dan itu berarti milik bersama seluruh makhluk hidup. Menagih komitmen MK Globalisasi versi neoliberal dewasa ini, memakai ungkapan Shiva, telah mengubah pemahaman air sebagai milik bersama seluruh makhluk hidup menjadi "barang privat" yang siap dieksploitasi dan diperdagangkan secara bebas. Tatanan ekonomi global menuntut penyingkiran segala macam pembatasan tentang aturan pemakaian air dan penciptaan pasar air. Dalam logika ini, manusia hanyalah homo economicus, dan semua hal dipandang sama, sekadar komoditas untuk memuaskan mesin-hasrat manusia yang tidak pernah dapat terpuaskan. Maka korban pertama dari pemaksaan logika semacam ini adalah kehidupan itu sendiri. Tidak lebih, tidak kurang. Perang air pada skala global merupakan cermin paling jelas pertarungan yang mempertaruhkan masa depan kehidupan. Dan, di Indonesia gemanya dapat dicandra pada pertarungan menentukan yang harus diputuskan MK dalam waktu dekat. MK harus mengambil keputusan historis apakah akan mengizinkan logika pasar neo-liberal menguasai sumber-sumber air, dan mengorbankan kehidupan demi keuntungan segelintir orang; atau MK akan tetap mempertahankan landasan kehidupan bersama kita sebagai bangsa, "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat" (UUD 1945 pasal 33 ayat 3). Sungguh, moment of truth itu kini hadir di hadapan MK!Trisno S Sutanto, Direktur Eksekutif MADIA, Jakarta Post Date : 11 Mei 2005 |