Jakarta, Kompas - Jakarta memerlukan peran serta warga untuk menangani sampah yang terus bertambah. Produksi sampah yang saat ini mencapai 6.500 ton bakal melonjak menjadi 8.200 ton pada tahun 2025.
”Jika tidak dikelola dengan baik, sampah akan menjadi bencana bagi lingkungan hidup. Apalagi, DKI tidak dapat mengandalkan sistem penanganan konvensional yang ada saat ini,” kata Ubaidillah, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Jakarta, dalam Seminar Manajemen Sampah dan Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Kamis (11/3) di Jakarta Pusat.
Menurut Ubaidillah, kapasitas armada pengangkut sampah di Jakarta mulai tidak seimbang dengan jumlah sampah yang meningkat lima persen setiap tahun. Paradigma penanganan sampah yang hanya mementingkan pengangkutan dan pembuangan harus diubah.
”Sampah harus dipandang sebagai sumber daya yang dapat diolah menjadi barang bernilai ekonomi. Teknologi tinggi juga harus diterapkan untuk mengolah sampah di tempat pembuangan akhir,” kata Ubaidillah.
Joni Tagor Harahap, Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Sanitasi Lingkungan, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta, mengatakan, penanganan sampah di Jakarta akan efektif jika masyarakat dilibatkan mengolah sampah sejak dari lingkungan mereka.
”Masyarakat harus diajari memilah sampah organik dan anorganik. Pemilahan dapat ditindaklanjuti dengan pengolahan sesuai sifat sampah,” kata Joni.
Sampah organik dapat diolah menjadi kompos. Kompos itu dapat dijual dengan harga mahal atau digunakan untuk memupuk taman mereka. Adapun sampah anorganik dapat diolah menjadi berbagai peralatan harian.
Jika semua sampah organik dapat diolah warga menjadi sampah, produksi sampah Jakarta akan berkurang sampai 52 persen. Pengurangan sampah sejumlah itu sangat membantu pemerintah menangani sampah yang lain.
Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Eko Bharuna mengatakan, pelibatan masyarakat untuk turut mengolah sampah masih terkendala masalah sosialisasi dan budaya. Banyak warga yang belum tahu cara mengumpulkan dan mengolah sampah yang mereka hasilkan.
Di sisi lain, banyak juga warga yang masih enggan terlibat dalam proses pengurangan (reduce), penggunaan kembali (reuse), dan pendaurulangan (recycle) sampah atau program 3R. Dari sekitar 2.500 RW yang ada di Jakarta, baru 500 RW yang mengikuti program 3R.
Padahal, dengan jumlah terbatas, peran serta masyarakat sudah dapat mengurangi produksi sampah sampai tujuh persen atau sekitar 455 ton per hari.
Peneliti Indonesia Solid Waste Association, Sri Bebasari, mengatakan, peran serta warga dalam program 3R harus diikuti peran serta perusahaan swasta. Swasta yang kemasan produknya menjadi sampah harus dibebani kewajiban membeli produk olahan dari sampah mereka.
Untuk mengolah sampah yang tidak dapat dimanfaatkan, kata Eko, pihaknya menyiapkan tempat pengolahan sampah terpadu Ciangir yang dapat mengolah sampah 3.000 ton menjadi listrik 25 megawatt. DKI juga menyiapkan intermediate treatment facility (ITF) di Cakung-Cilincing untuk menampung sampah 700 ton per hari dan ITF Marunda untuk menampung 1.000 ton per hari. ITF menggunakan sistem pembakaran bersuhu tinggi guna membangkitkan listrik. (ECA)
Post Date : 12 Maret 2010
|