Penyedotan Air Tanah Tinggi

Sumber:Kompas - 08 Desember 2011
Kategori:Air Minum
Jakarta, Kompas - Pengambilan air bawah tanah sebagai penyebab utama penurunan muka tanah di Jakarta, kian tahun, semakin meningkat meski jumlah air yang terekstraksi menurun. Pemerintah juga belum dapat mengendalikannya karena suplai air perpipaan baru memenuhi 60 persen kebutuhan.
 
Berdasarkan data Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral tahun 2007, jumlah air tanah terekstraksi mencapai titik tertinggi tahun 1995. Dari 3.000-3.500 pompa terpasang, terekstraksi 30-35 juta meter kubik air. Tahun berikutnya, jumlah sumur pompa terus meningkat, tetapi jumlah air terekstraksi kian merosot. Tahun 2007, jumlah pompa terpasang 3.700 unit, sedangkan air terekstraksi mencapai 20 juta meter kubik.
 
”Pengambilan air tanah secara besar-besaran ini menyebabkan permukaan air di dalam tanah terus menurun dan menyebabkan seluruh lapisan tanah di atasnya ikut turun,” ujar ahli geodesi dari Institut Teknologi Bandung, Hasanuddin Z Abidin.
 
Kepala Bidang Pencegahan Dampak Lingkungan dan Pengelolaan Sumber Daya Perkotaan BPLHD DKI Jakarta Dian Wiwekowati dalam sebuah kesempatan mengatakan, Jakarta menjadi salah satu kota dengan penurunan muka tanah paling tinggi dari 530 kota di dunia.
 
Pihak manajemen obyek vital di Jakarta Utara sangat mengharapkan pengambilan air bawah tanah segera dihentikan.
 
”Pembangkit listrik di Taiwan juga pernah mengalami hal serupa seperti di Muara Karang. Pemerintahnya kemudian mengendalikan pengambilan air tanah sehingga pembangkitnya tak terganggu lagi oleh penurunan muka tanah,” tutur General Manager Unit Pembangkit Muara Karang Miftahul Jannah, Rabu (7/12), di Jakarta.
 
Belum memadai
 
Berdasarkan keterangan Kepala Bidang Penegakan Hukum Lingkungan BPLHD DKI Jakarta Ridwan Panjaitan, deposit air tanah di Jakarta sebesar 77 juta meter kubik per tahun dan yang boleh diambil hanya 60 persen atau 48 juta meter kubik per tahun.
 
”Jika terjadi penurunan muka tanah, ini berarti telah terjadi ekstraksi secara berlebihan. Saat ini, laporan resmi penggunaan air tanah hanya 20 juta meter kubik,” kata Ridwan.
 
Nila Ardhianie dari Amrta Institute for Water Literacy memprediksi masalah ekstraksi air tanah akan terus berlangsung. Pasalnya, payung hukum yang menjadi pijakan belum memadai. Perda dan peraturan gubernur yang ada baru mengatur perpajakan. ”Konservasi dan pengawasannya belum ada,” ujarnya.
 
Sementara itu, Ridwan berpendapat, empat perda yang ada sudah mencukupi, yakni Perda No 10/1998 tentang Pemanfaatan Air Tanah, Perda No 8/2007 tentang Ketertiban Umum, Perda No 17/2010 tentang Pajak Air Tanah, dan Perda No 1/2004 tentang Air Tanah. Kepala Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan DKI Jakarta Wiriyatmoko menegaskan, saat ini Pemerintah Provinsi DKI hanya memberikan izin pembangunan gedung jika mereka membuat pengolah air limbah sendiri. (ARN/MDN)


Post Date : 08 Desember 2011