|
BOROBUDUR - Salah satu penyebab penurunan debit air di kawasan lereng Gunung Merapi adalah penambangan material vulkanik yang keluar dari gunung tersebut. ''Penambangan itu marak sejak krisis 1997 karena kualitas pasir Merapi baik untuk bahan bangunan, apalagi untuk campuran beton,'' ungkap Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Jateng Edi Haryono, kemarin. Dalam Workshop ''Semakin Ada Air, Ada Pangan, Ada Masa Depan'' di Grogol, Dukun, Kabupaten Magelang, dia mengemukakan, sejak 2003 Pemkab Magelang mulai mengatur penambangan dengan relatif baik. Menurut pandangan dia, masyarakat juga semakin memahami aturan tentang penambangan dan bisa mengomplain jika menemui penyimpangan dari aturan penambangan. Sementara itu, penilaian Pendamping Gerakan Masyarakat Cinta Air (GMCA) lereng Gunung Merapi Romo Kirjito berbeda. Dia berpendapat, kawasan Gunung Merapi saat ini masih tetap tidak kekurangan persediaan air baik untuk pertanian maupun kebutuhan rumah tangga. Akan tetapi, begitu ada sedikit kekurangan mereka sudah cemas. ''Generasi muda punya peluang memikirkan masa depan tentang air di kawasan ini,'' ujarnya. Dia mengatakan, kebudayaan masyarakat menyangkut air relatif sangat miskin. Dengan demikian, perlu pembaruan sikap masyarakat terhadap air agar tidak lagi hanya mengeluhkan masalah banjir saat musim hujan dan kekurangan air saat musim kemarau. Dia juga menekankan, perlu adanya sinergi antara masyarakat, pemerintah, dan kalangan akademikus untuk membangun sikap hidup eksploratif, kreatif, dan melakuan penciptaan secara integral menyangkut air bagi kepentingan masa depan kehidupan manusia. Kualitas Air Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Pemerintah Provinsi Jateng Joko Sutrisno mengemukakan, hasil uji air membuktikan terjadi penurunan kualitas air di sepanjang Kali Progo di wilayah Jateng. Banyak bakteri patogen atau emoli dari hulu hingga perbatasan Yogyakarta, itu sebagai tanda banyaknya pengaruh kualitas air. Dia menandaskan, sikap masyarakat yang positif terhadap air bagi masa depan hanya bisa diubah lewat pendidikan sejak anak usia dini. Pengaturan air secara lokal yang dilakukan oleh masyarakat melalui musyawarah untuk kepentingan lingkungan ternyata lebih ampuh ketimbang peraturan daerah yang dibuat pemerintah. ''Lokal punya kearifan dan lebih tajam dengan kebutuhan sehari-hari. Peraturan lokal oleh masyarakat sangat ampuh untuk mengendalikan air,'' ucapnya. Sementara itu, pemerintah tidak bisa melakukan perubahan lingkungan yang sudah rusak menjadi lebih baik secara cepat tanpa dukungan masyarakat. Workshop itu berlangsung di Gubug Selo Merapi (GSPi) Grogol. Hasil kerja sama GMCA Magelang, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Pemprov Jateng, Badan Bimas Ketahanan Pangan Jateng, Unika Soegijopranata Semarang, dan Research Assessment and Empowering Community Institute. (pr-20j) Post Date : 18 Februari 2005 |