Kupang, Kompas - Penyaluran dana senilai Rp 65 miliar untuk program penguatan kelembagaan masyarakat dan pemerintahan desa dengan sasaran ekonomi, sosial, dan budaya tidak jelas.
Menurut staf Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, Nyelong Inga Simon, Rabu (16/9), dana yang dialokasikan untuk 33 provinsi itu selama ini langsung dikirim ke rekening pihak ketiga, yakni konsultan manajemen nasional (KMN), konsultan manajemen provinsi (KMP) dan konsultan manajemen kabupaten/ kota (KMK). ”Mereka ini direkrut tim fasilitator desa, kata Nyelong, seusai melakukan inspeksi di sembilan kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT) di Kupang.
Program tersebut, lanjutnya, diluncurkan pada tahun 2008 dengan jumlah Rp 55 miliar dan tahun 2009 senilai Rp 65 miliar. ”Tetapi, peruntukan dana itu hingga kini tidak jelas. Setiap kelompok kader penggerak pembangunan satu bangsa desa tertinggal (P2SBDT) katanya mendapatkan dana Rp 10 juta. Tetapi, kegiatan tidak jalan. Lalu, ke mana dana itu mengalir,” kata Nyelong.
Satu kelompok P2SBDT beranggotakan tujuh orang. Mereka dipilih oleh masyarakat setempat. Kelompok itu difasilitasi KMN, KMP, dan KMK. Fasilitator itu bertanggung jawab memberi bimbingan dan penyuluhan kepada setiap kelompok P2SBDT.
Nyelong menambahkan, dalam kunjungan kerjanya ke sembilan kabupaten di NTT selama satu pekan, semua kepala desa sebagai pembina kader P2SBDT mengaku tidak mengetahui program tersebut. ”Padahal, program itu sudah diluncurkan sejak tahun 2008 dengan total alokasi dana Rp 55 miliar dan Rp 65 miliar tahun ini,” ujarnya.
Sasaran
Sasaran peluncuran program tersebut, menurut Nyelong, adalah penguatan lembaga kemasyarakatan dan pemerintahan desa. ”Sasaran khususnya adalah peningkatan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat desa,” katanya.
Tiap provinsi mendapat dana Rp 100 juta. ”Ada 148 kabupaten yang mendapat program tersebut dengan 1.480 desa. Namun, para kepala desa tidak tahu dana tersebut,” kata Nyelong lagi.
Khusus di NTT, ada 90 desa yang mendapat alokasi dana tersebut. Desa-desa itu tersebar di sembilan kabupaten, yakni Kupang, Manggarai, Manggarai Barat, Sikka, Sumba Timur, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Ngada dan Rote Ndao.
Informasi yang dikumpulkan Kompas, KMN, KMP, dan KMK tidak pernah berkoordinasi dengan pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, maupun pemerintah kota. Alasannya, mereka direkrut langsung dari Jakarta. Kepala desa sebagai pembina kader pembangunan desa tidak difungsikan.
Perekrutan dilakukan pusat atas usulan masyarakat. Para konsultan itu rata-rata bergelar sarjana, yang belum mendapatkan pekerjaan tetap. (KOR)
Post Date : 17 September 2009
|