|
SEBELUM formula teknologi tepat guna pengolahan sampah yang proporsional di tempat pembuangan sampah akhir (TPA), masih belum ditemukan, tampaknya permasalahan sampah yang selama ini dihadapi oleh berbagai kabupaten/kota di Indonesia tak akan pernah berakhir. Sementara pengelolaan sampah di TPA dengan mendayagunakan sistem open dumping, sanitary landfill, dan incinerator atau melalui pembakaran yang dewasa ini tengah berjalan cukup lama itu, kelihatannya belum mampu menjawab tuntas masalah besaran timbulan sampah yang bergerak semakin cepat dan selalu bertambah seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Seberapa besar luas lahan tempat pembuangan sampah akhir (TPA) tersedia, mungkin tidak akan berpengaruh banyak terhadap efisiensi penggunaan lahannya bila dalam pengelolaan sampah tersebut masih belum diperoleh titik imbang antara jumlah volume sampah yang masuk dan yang keluar. Malah yang terjadi adalah penumpukan sampah di TPA. Selain itu, bisa juga karena daya dukung dari proses kerja pengolahan sampah yang tidak sepadan dengan kecepatan penambahan jumlah volume sampah yang masuk ke TPA, maka yang terjadi adalah percepatan penurunan jumlah luas lahan. Dalam kurun waktu tertentu akan sampailah pada titik jenuh TPA, atau mencapai titik over capacity. Bila telah sampai pada titik puncak demikian, sementara TPA masih saja diaktifkan, yang terjadi adalah ledakan bom sampah, seperti yang terjadi di TPA Leuwigajah beberapa waktu lalu yang sempat merenggut korban jiwa. Sebagai dampak lanjutan tidak berfungsinya TPA tersebut, adalah dirasakannya bau busuk dari tumpukan sampah yang tidak terangkut di tempat pembuangan sampah sementara (TPSS), di mana lokasi TPSS itu biasanya berada tidak jauh dengan lingkungan perumahan masyarakat. Lingkungan menjadi tidak sehat, bahkan terkadang bisa menimbulkan masalah lain, yaitu menjadi sumber kemacetan lalu lintas, karena di lokasi TPSS, sampah sudah membludak ke jalan raya. Mekanisme pelayanan kebersihan yang telah berjalan selama ini diawali dengan pengumpulan, kemudian pewadahan, dan pengangkutan dari sumber sampah ke TPSS, selanjutnya dari TPSS diangkut ke TPA. Ternyata titik lemah dalam proses pengelolaan sampah yang selama ini sering menimbulkan masalah, bahkan sempat menjadi musibah yang berskala nasional, adalah pengolahan sampah di TPA. Pada prinsipnya untuk mencapai titik keseimbangan antara sampah yang masuk dan keluar baik ke TPSS maupun TPA, adalah bagaimana agar jumlah volume sampah yang diproduksi manusia setiap hari itu dapat dikendalikan, dengan cara mengurangi volume sampah secara bertahap sejak dari sumber hingga ke TPSS maupun TPA. Besaran jumlah volume sampah yang keluar dari sumbernya, dapat diserap melalui berbagai kegiatan yang di antaranya dapat dilakukan dengan pemilahan untuk kemudian didaur ulang. Kegiatan yang dimaksud dapat dilakukan oleh warga masyarakat. Pada gilirannya, jumlah volume sampah yang dihasilkan oleh sumbernya tersebut, menurut runtutan alur perjalanan sampah yang akan dilaluinya akan mengalami penurunan jumlah yang signifikan. Dengan demikian diharapkan timbulan sampah yang semakin jauh dari sumber produksinya, volumenya pun akan mengecil, bahkan habis sama sekali karena didaur ulang. Langkah demikian misalnya dapat dimulai oleh ibu-ibu rumah tangga dengan memisahkan sampah menurut sifat dan jenisnya, baik sampah organik maupun nonorganik. Seperti pada sampah organik kita bisa mengenali mana sampah yang lunak mudah hancur (daun) dan mana sampah yang keras agak susah hancur, seperti tulang ayam atau sapi. Demikian pula pada sampah nonorganik, mana yang termasuk jenis plastik tipis, seperti keresek dan plastik tebal, serta mana yang berjenis kaca, kaleng, besi dsb. Bila pola pemisahan jenis sampah dapat dilakukan masyarakat, maka akan mempermudah, mempercepat, dan memperbanyak perolehan barang buangan yang menjadi sasaran para pemulung atau pelaku daur ulang dalam melakukan kegiatannya. Bila kegiatan pemisahan sampah yang dimulai dari rumah dapat dilakukan, diharapkan kegiatan daur ulang di lokasi TPSS, akan lebih efektif lagi. Sehingga jumlah volume sampah yang diproduksi masyarakat secara bertahap dapat diserap pula oleh masyarakat. Itu sebabnya, pemerintah perlu mengkaji lebih mendalam kemungkinan dilakukannya kegiatan daur ulang dengan mengurai lebih detail unsur yang terkandung dalam sampah tersebut. Seluruh kandungan organik dalam sampah dapat dimanfaatkan secara maksimal sesuai sifat yang dimilikinya. Konsep pikir yang dikembangkan pada prinsipnya memberdayakan unsur yang terkandung di dalam sampah tadi dapat direkayasa sedemikian rupa menjadi kegiatan yang dapat dilakukan oleh masyarakat. Katakanlah bila dalam satu timbulan sampah kita mendapatkan 5 unsur yang dapat didaur ulang dan mungkin saja di antaranya telah didaur ulang oleh masyarakat. Tentunya kegiatan daur ulang yang dimaksud telah melalui berbagai tahapan pengamatan, di mana kegiatan itu baik secara teknis, maupun ekonomis, layak dilakukan oleh masyarakat menjadi suatu lahan usaha. Muara kegiatan yang dilakukan pemerintah pada akhirnya akan dikembalikan kepada masyarakat, terutama kepada mereka yang memang telah menggeluti dunia daur ulang sebelumnya. Adapun kegiatan daur ulang yang dilakukan pemerintah dalam hal ini adalah kegiatan yang menurut jenisnya benar-benar belum tersentuh oleh masyarakat. Diharapkan nilai tambah yang diperoleh dari kegiatan tersebut, kita akan mendapatkan lapangan kerja yang akan menyerap tenaga kerja baru. Namun tantangan besar yang dihadapi pemerintah, adalah apakah kegiatan ini secara ekonomis dapat menguntungkan atau sebaliknya? Memasuki wilayah operasional, kiranya kita dapat mengambil ilustrasi situasi nyata pengelolaan sampah di Kota Bandung, di mana luas wilayah kotanya mencapai 16.729,650 ha itu, telah dihuni oleh 2.501.506 jiwa, atau tingkat kepadatan rata-rata mencapai 149 jiwa/ha, melebihi kepadatan penduduk yang ditetapkan UNICEF sebesar 60 jiwa/ha. Dari jumlah penduduk tersebut yang diasumsikan mengeluarkan sampah rata-rata sebanyak 2,5 liter/orang/hari, telah menghasilkan timbulan sampah setiap harinya sebesar 7.500 m3 dan baru sekira 70% dapat diangkut. Sampah itu berasal dari permukiman, pasar, jalan, industri, rumah sakit, usaha komersial dan fasilitas umum lainnya. Namun akhir-akhir ini setelah peristiwa longsor di TPA Leuwigajah, pemerintah Kota Bandung agak kewalahan dalam membuang sampahnya. Karena TPA Jelekong yang selama ini menjadi alternatif sementara pembuangan sampah dari Kota Bandung itu, sejak tanggal 31 Desember 2005 telah berakhir masa pakainya. Merujuk kepada konsep pikir daur ulang sampah oleh warga masyarakat dan berangkat dari situasi yang sedemikian terbatasnya lahan TPA, kelihatannya perlu dikaji ulang secara komprehensif pengelolaan kebersihan, pengolahan sampah terutama di lahan TPA, tentunya dengan memperhitungkan berbagai kemungkinan. Karena harga yang harus dibayar oleh pemerintah dalam kaitan ini, di samping harus menyediakan sejumlah besar dana untuk lahan TPA, juga biaya sosialisasi bagi warga masyarakat untuk mengubah sikap dan perilakuannya terhadap sampah. Sejauh menyangkut teknologi yang bila terpaksa harus didatangkan dari luar negeri, betapa pun teknologi itu mahal harganya, sangat mungkin pemerintah dapat membelinya. Hal demikian karena memang terukur, baik nilai tambah yang bakal diperoleh, maupun risiko pengeluaran yang akan dihadapi. Namun bila telah menyangkut hal yang berhubungan dengan perubahan sikap mental masyarakat, yang dalam hal ini berkaitan dengan perilakunya terhadap sampah, pemerintah akan berhadapan dengan rentang waktu yang panjang, bahkan tidak terhingga dengan biaya yang sangat besar pula. Artinya hasil dari upaya mengubah sikap masyarakat yang dimaksud tersebut, tidak kemudian dapat terlihat secara instan dalam waktu singkat. Dalam kaitan ini, sebagai bahan pembanding, kita bisa melihat bagaimana program keluarga berencana nasional disosialisasikan di bumi pertiwi ini dan akhirnya bisa melekat di hati masyarakat setelah memakan waktu puluhan tahun. Namun demikian dengan mencoba hal kecil, tetapi akan berdampak besar, dengan arahan yang jelas dari pemerintah, tampaknya masyarakat bisa memulainya. Pisahkan sampah organik basah dari dapur dengan sampah nonorganik. Berdasarkan pengalaman, sampah nonorganik bila dalam jumlah tertentu dapat dijual ke penampungan barang rongsokan, mulai dari kertas, plastik, kaleng, besi, tembaga, timah, alumunium dsb. Bila masyarakat mulai menyadari akan nilai ekonomis yang terkandung dalam sampah yang dibuangnya, mungkin sekali mereka akan lebih hati-hati memperlakukannya. Dalam tahap demikian pemerintah bisa mulai memfokuskan bidang garapan pengolahan sampahnya terhadap sampah organik yang bisa dijadikan pupuk. Sangat mungkin kelayakan usahanya tidak menguntungkan, namun bila dibandingkan dengan bencana longsor di TPA Leuwigajah yang sempat memakan korban jiwa sebanyak 112 orang meninggal, kelayakan usaha yang dimaksud mungkin masih bisa dikesampingkan. Tentu dengan estimasi yang benar-benar terukur sesuai kemampuan keuangan pemerintah. Dengan demikian, keinginan mewujudkan Kota Bandung sebagai kota jasa yang "Bermartabat" (Bersih, Makmur, Taat, dan Bersahabat) yang telah dicanangkan sejak tahun 2003, bahkan di waktu sebelumnya pun dengan berbagai program dan slogan kebersihan, Pemerintah Kota Bandung berupaya keras untuk mewujudkan sebuah kota jasa yang bersih dan nyaman untuk dihuni. Tidak sia-sia memang, karena di era tahun 1987-an beberapa kali Kota Bandung telah berhasil meraih predikat kota terbersih di Indonesia dengan merebut piala Adipura. Akankah predikat seperti itu terulang kembali? Akhirnya, bila program daur ulang bagi masyarakat bisa direalisasikan, mungkin kehadiran sampah di tengah-tengah kita tidak lagi meresahkan, tetapi justru sebagai bagian dari lahan untuk mengais rezeki. Lebih dari itu, tidak menutup kemungkinan pada gilirannya Kota Bandung akan menjadi projek percontohan pengelolaan sampah di Indonesia. Hal demikian mengingat permasalahan pengolahan sampah di TPA memang sudah menjadi persoalan yang dihadapi kabupaten/kota di tanah air dan sampai saat ini tampaknya masih belum ditemukan formula ampuh untuk mengatasinya. oleh SABIJANTO APenulis, pemerhati pengelolaan sampah. Staf Subdin Humas Dinas Informasi dan Komunikasi Kota Bandung. Post Date : 18 Januari 2006 |