|
BANDUNG -- Meski ada kesepakatan pengaktifan tempat pembuangan akhir (TPA) tambahan di Pasir Impun, Kelurahan Karangpamulang, Kecamatan Cicadas, namun penolakan warga terus berlanjut. Di sekitar TPA, ditempeli banyak poster bernada penolakan. Bahkan, di RW 14 terpampang bentangan spanduk yang dengan tegas menolak pengaktifan TPA tambahan Pasir Impun. Lokasi TPA tambahan ini tidak jauh dari TPA Pasir Impun. Berdasarkan pantauan Republika, sepanjang Gang H Umar di RW 13, mulai dari gapura hingga ujung gang, ditempeli selebaran penolakan. Selebaran itu, berisi sindiran atas kinerja RW yang dipilih warga namun tidak membela warga dengan membiarkan sampah masuk ke Pasir Impun. Menurut Anti (39 tahun) warga RT 03 RW 13 Kelurahan Karangpamulang, Kecamatan Cicadas, Kota Bandung, sebagian besar warga menolak TPA tambahan itu. Pasalnya, sambung Anti, warga Pasir Impun terkena dampak buruk dari penggunaan TPA itu. ''Baunya menyengat sekali. Bahkan saya suka susah makan karena mual akibat TPA itu,'' katanya kepada wartawan, Ahad (23/4). Anti mengatakan, warga juga sering merasa pusing. Bahkan banyak bayi atau balita yang jatuh sakit. Ia mengungkapkan, saat TPA Pasir Impun digunakan untuk menampung sampah saat pringatan Konferensi Asia Afrika (KAA), anaknya yang masih balita jatuh sakit akibat efek buruk TPA. Namun, ia mengaku tidak mendapatkan ganti rugi. ''Saya pergi ke puskesmas dengan uang sendiri,'' kata Anti menandaskan. Untuk penggunaan TPA sekarang, kata dia, pemerintah berjanji akan memberikan pengobatan gratis. Namun, ia mengaku tidak percaya dengan janji pemerintah tersebut. Karena selama ini, pemerintah cuma bisa mengumbar janji. Di RW 14, lanjut Anti, airnya tercemar sampah. Ia menjelaskan, air sumur milik warga tidak bisa digunakan karena berubah warna akibat pencemaran. Selain itu, pengaktifan TPA, menjadikan Pasir Impun sebagai sarang lalat. Hal serupa diungkapkan, warga RT 05 RW 13, Amay Kurniawan (51). Ia mengatakan, berdasarkan hasil perundingan RW 9, 13, dan RW 14, warga menolak pengaktifan TPA Pasir Impun. Namun kini, ia mendengar TPA itu tetap akan digunakan. Amay mengaku terganggu dengan pengaktifan TPA Pasir Impun. Pasalnya, baunya mengganggu pernapasan. Bahkan, ia mengaku tidak bisa tidur, karena bau sampah. ''Lalatnya juga banyak sekali. Malah, di pos satpam tempat saya kerja juga banyak. Padahal, tidak ada makanan di sana,'' katanya menandaskan. Dikatakan Amay, sebenarnya selama ini PD Kebersihan secara sembunyi-sembunyi membuang sampah ke Pasir Impun. Sampah yang dibuang, kata dia, tidak banyak sekitar satu atau dua truk. Pembuangan sampah itu, dilakukan pada malam hari, saat warga berada di rumahnya masing-masing. Makanya, terkadang malam hari ia tidak bisa tidur. Sementara itu, Ketua RW 13 Kelurahan Karangpamulang, Didi Sutardi, mengatakan, kesepakatan itu belum 100 persen. Pasalnya, saat ini pembebasan lahan dan pengurugan belum bisa dilakukan. Dikatakan Didi, awalnya wacana yang berkembang warga menolak. Namun keadaan makin mendesak, sehingga keputusan dikembalikan kepada warga. Pada 12-14 April 2006, seluruh RT dan RW 13 menggelar rapat secara maraton. Karena keadaan mendesak, warga terpaksa menyetujui. Namun kesepakatan itu, kata Didi, disertai beberapa catatan. Yakni penggunaan TPA seluas 7.000 meter persegi itu hanya 45 hari (1,5 bulan). Selain itu, pemkot harus memperhatikan batas waktu pembuangan, infrastruktur jalan, kesehatan, dan air di wilayah RW 13. Didi mengatakan, saat ini air di sejumlah RT di RW 13 tercemar akibat penggunaan TPA Pasir Impun sebelumnya. Untuk itu, saat ini pihaknya meminta penambahan debit air. Catatan lainnya adalah jika TPA penuh sebelum batas akhir penggunaan, maka pembuangan sampah harus dihentikan. Untuk mengawasi penggunaan TPA, cetus Didi, pihaknya akan mengirim pengawas. Hingga kini, tim pengawas itu belum ditentukan. Namun, yang akan menjadi tim pengawas adalah linmas, tokoh masyarakat, dan pemuda. (ren ) Post Date : 24 April 2006 |