|
KONFLIK antara warga dan pengelola Tempat Pengolahan Sampah Terpadu di Bojong, Kabupaten Bogor, mencapai puncaknya Senin (4/10) lalu. Warga Bojong dan sekitarnya yang didukung Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jakarta, nekat memblokir jalan menuju TPST Bojong dengan cara menebangi pohon besar dan kecil untuk menutupi badan jalan. Buntutnya, kantor PT Wira Guna Sejahtera, pengelola TPST yang sempat dirusak massa, akhirnya "disegel" aparat Kepolisian Wilayah Bogor. TPST Bogor dinyatakan status quo. KEMARAHAN warga itu merupakan lanjutan dari aksinya yang sudah berkali- kali dilakukan. Sebab, sejak semula mereka memang menolak keberadaan tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) yang akan menampung dan mengolah sampah dari Jakarta itu. Mereka berkeyakinan TPST Bojong akan merusak kesehatan warga dan lingkungan Desa Bojong. Sebab, TPST itu berada di tengah lingkungan permukiman yang lebih dahulu ada. Awalnya, mereka mempersoalkan ketidaksesuaian pembangunan TPST dengan Rencana Umum Tata Ruang Kecamatan Klapanunggal yang sejak semula untuk permukiman dan pariwisata. Bukan untuk lokasi industri apalagi tempat pembuangan sampah DKI Jakarta. Namun, belakangan, pemerintah setempat menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 17 Tahun 2000 yang mengisyaratkan Desa Bojong (saat itu masih masuk wilayah Kecamatan Cileungsi) dimungkinkan untuk tempat pembuangan sampah B3. Setelah itu, Bojong dimasukkan ke Kecamatan Klapanunggal tanpa menghapus ketentuan yang tercantum dalam Perda No 17 itu. Artinya, di Bojong tetap dimungkinkan untuk tempat membuang sampah. Tentu saja masyarakat Klapanunggal keberatan. Mereka terus menolak keberadaan TPST yang mereka yakini tidak akan lebih baik dari Tempat Pemusnahan Akhir (TPA) sampah Bantar Gebang di Bekasi, yang jaraknya hanya beberapa kilometer. Menanggapi penolakan itu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor meminta masyarakat Kecamatan Klapanunggal memberi kesempatan PT Wira Guna Sejahtera (WGS) untuk melakukan uji coba pengoperasian TPST Bojong untuk memastikan terjadi atau tidaknya pencemaran lingkungan seperti yang mereka khawatirkan. "Kalau masyarakat menolak TPST, beri kami alasan penolakannya yang rasional dan konkret. Jangan cuma menyatakan menolak karena pokoknya-pokoknya sampah. Susah dong, kalau argumentasinya begitu. TPST Bojong itu sendiri belum terbukti akan mencemarkan lingkungan," tutur Kepala Humas Pemkab Bogor Mohammad Sjahuri. Dalam berbagai kesempatan, pihak PT WGS sudah memberi penjelasan tentang sistem dan pengoperasian TPST Bojong. Semula, TPST Bojong memang akan menggunakan sistem balapress. Namun karena tidak efektif, akibat jenis sampah masyarakat yang sulit dijadikan homogen, sistem itu ditinggalkan dan diganti dengan sistem insenerator (pembakaran). "Dengan mesin-mesin kami saat ini, tidak akan ada timbunan sampah. Karena semua sampah yang datang hari itu dibakar sampai habis pada hari yang sama. Jangankan timbunan sampah, sampah-sampah itu pun setelah masuk ke sini tidak akan pernah menyentuh tanah. Begitu sampah dituang dari truk pengangkutnya, langsung disambut ban berjalan, mulai dari awal sampai masuk ke mesin pembakarannya," tutur Direktur Teknis PT WGS Henry Endro. Sistem ini juga memungkinkan memberi kesempatan kerja bagi sekitar 300 warga setempat. Berkaitan dengan air lindi, yang tadi diperas dari sampah, air itu masuk ke bagian pengolahan air lindi. Di sini, air tersebut akan diolah sedemikian rupa sehingga air itu akhirnya sudah layak untuk dibuang ke saluran air terbuka. Namun, pihak PT WGS akan memanfaatkan air yang sudah layak lingkungan itu untuk menyirami pohon-pohon penghijauan di lingkungan TPST Bojong. Mengenai asap yang ditimbulkan dari proses pembakaran, sudah disiapkan mesin yang menetralisasi debu pembakaran. Dengan mesin itu, debu akan disaring dan diendapkan. Pada jangka panjang, debu-debu itu akan menjadi bahan pembuat batako. NAMUN, penjelasan seperti itu rupanya tidak menggoyahkan keyakinan warga. Apalagi, sistem balapress yang semula akan dipakai itu ternyata juga tak mampu meyakinkan warga. Buktinya, sistem itu diganti dengan sistem pembakaran. Pengalaman juga mengajarkan, sistem pengangkutan sampah dari Jakarta ke tempat pembuangan sampah selama ini tidak pernah bisa baik. Sampah berceceran di jalan. Truk-truknya kotor dan menebarkan aroma busuk ke daerah yang dilintasinya. Intinya, masyarakat sudah tidak percaya pada sistem pengolahan sampah yang direncanakan pemerintah. Apalagi kalau dari awalnya sudah terjadi hal-hal yang tidak bisa meyakinkan mereka. Menurut peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr Ir Suhirman, aksi masyarakat yang menentang keberadaan atau kegiatan uji coba TPST itu menunjukkan kesadaran terhadap lingkungan cukup tinggi. "Namun, seyogianya warga memberikan kesempatan juga kepada PT WGS untuk melakukan uji coba pengolahan sampah itu," katanya. Barangkali benar apa yang dikatakan Suhirman. Sebab, kalau setiap kali akan dibangun tempat pembuangan sampah selalu diprotes warga, lalu ke mana sampah Jakarta akan dimusnahkan? Inilah tugas berat Gubernur Sutiyoso pada periode kedua jabatannya. (rts/pun/pin) Post Date : 06 Oktober 2004 |