Pengusaha Kuliner Tolak Bayar Iuran

Sumber:Media Indonesia - 13 Mei 2011
Kategori:Sampah Luar Jakarta

HENDRA Saputra, 22, bersama rekannya, Alvino Hugo, 28, mendapat perintah dari pemilik Restoran Padang Barangin untuk menutup gerai. "Tutup selama lima hari," begitu pesan pemilik restoran yang beroperasi di Pasar Ciputat itu, beberapa waktu lalu.

Kedua pramusaji itu pun hanya bisa beradu pandang. Mereka menyadari, melebarnya penumpukan sampah yang hanya berjarak 200 meter dari restoran menjadi biang keladi bos mencutikan usaha.

"Sampah meluber sampai ke badan jalan. Akhirnya kami terpaksa tutup selama lima hari daripada kesehatan kami dan pelanggan terganggu. Sudah jadi risiko kami buntung (rugi) sebesar Rp12,5 juta," tutur Alvino, kemarin.

Persoalan sampah menjadi masalah klasik di Kota Tangerang Selatan (Tangsel) hingga hari ini. Sebelum Kota Tangsel dimekarkan pada 2009, tumpukan sampah di Pasar Ciputat sudah kerap terjadi.

Penumpukan terparah terjadi pada Desember 2010. Sampah menggunung sampai merampas setengah badan jalan. "Selama kami membuka usaha di sini, saat itu yang terparah," cerita Alvino.

Meski harus menelan kerugian cukup besar, pemilik restoran menyatakan jika pemerintah tidak merespons dalam beberapa hari ke depan, sebaiknya restoran ditutup dulu. Saran itu ditolak Hendra dan Alvino dengan alasan akan membuat pelanggan pergi ke tempat lain.

Bos restoran cukup kesal karena bau sampah sudah sedemikian meluas. Pelanggan juga akan kehilangan selera makan mengingat bau tak sedap memenuhi restoran.

Kala itu tumpukan sampah benar-benar membuat semua orang yang melintas menjadi kesal. Timbunan sampah hanya menyisakan setengah badan dan menjadi rebutan kendaraan dari dua arah berlawanan.

Akibatnya terjadi kemacetan parah di tengah aroma sampah yang memusingkan. Protes Sejumlah pedagang melakukan aksi protes menyikapi kondisi buruk itu. Namun, hingga kemarin, pengelola pasar kurang sigap merespons. Kondisi demikian membuat Alvino dan kawankawan menempuh jalan lain.

Mereka menolak membayar iuran kebersihan sebesar Rp3.000 per hari. "Buat apa bayar iuran kebersihan kalau sampah tetap dibiarkan menumpuk. Percuma saja," sergahnya.

Bukan hanya Hendra dan Alvino yang setiap hari harus mengenakan masker untuk bernapas. Mahasiswi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah bernama Sari Ayu, 21, juga selalu mengantongi masker.

Bila dia harus melewati kawasan tersebut, persediaan sudah di kantong. Sepanjang bisa menghindar, dia memilih opsi kedua, yakni mengambil jalan memutar.

Sari Ayu setiap hari berjalan kaki dari rumah ke kampus dan sebaliknya. Penambahan jarak tempuh tidak menjadi soal ketimbang ia harus menghirup bau sampah di pagi hari. "Lebih baik jalan jauh daripada mood (selera) saya hilang mendadak," kata dia.

Sari memilih capek jalan jauh ketimbang dekat tapi bau karena pernah punya pengalaman pahit di kawasan Pasar Ciputat. Ketika ingin menyeberang jalan untuk menghindari tumpukan sampah di tengah arus lalu lintas padat, ia terjatuh karena menginjak sampah plastik berair. "Karena buru-buru menghindari sampah, saya malah jatuh karena sampah," kenangnya.

Sejumlah pedagang yang berjualan tak jauh dari tumpukan sampah mengaku mengalami penurunan omzet hingga 20%. Penurunan yang paling terasa dialami usaha sektor kuliner. "Mau bilang apa, Dinas Kebersihan Pertamanan dan Pemakaman Kota Tangsel tidak bisa berbuat apa-apa," keluh pedagang tahu. (Apriarto Muktiadi/J-1)



Post Date : 13 Mei 2011