|
Tidak seorang pun manusia normal menginginkan bencana di dalam hidupnya. Banjir, seperti yang melanda sebagian warga Jakarta, terjadi di luar keinginannya. Kita menyebutnya sebagai bencana alam. Banyak di antara korban kelaparan, tanpa uluran tangan sesamanya. Sa'ana, nenek berusia 62 tahun itu duduk melamun di bawah tenda terpal di bantaran rel kereta api (KA) di RT 008/RW 03, Rawa Buaya, Jakarta Barat, Senin (4/2) petang. Dia adalah salah satu korban banjir di Rawa Buaya, yang mengungsi ke bantaran rel sejak Jumat (1/2) pukul 09.00. Janda satu anak ini sudah tidak kuat lagi tidur di antara besi bantalan rel. Badan saya sudah pegal dan sakit. Malam dingin, tidur tanpa selimut. Siang panas sekali, tidak bisa tidur, katanya. Dia mulai tidak kuat, tidak saja karena tidur beralaskan plastik tipis di atas kerikil dan besi rel, tetapi juga tidak punya makanan lagi. Dua hari ini kami hanya makan mi rebus. Waktu banjir tahun lalu, masih dapat bantuan beras. Sekarang tidak ada bantuan, kata ibu dari Minarsih (30), anak satu-satunya. Pada Jumat lalu, dia dan anaknya masih punya uang Rp 20.000. Uang itu digunakan untuk beli mi, dan minyak tanah. Harga minyak tanah Rp 5.000 per liter, dan dia hanya mampu membeli seliter saja buat masak mi dan air minum. Semula mau beli nasi bungkus, tapi urung. Harga sebungkus nasi dengan sambal dan sebutir telor harganya Rp 7.500. Kalau berdua Rp 15.000. Tak cukup, kata Sa'ana yang perutnya masih kosong. Hingga Senin kemarin, rumah Sa'ana masih tergenang air setinggi 50-60 sentimeter. Selama tiga hari sebelumnya rumah masih tergenang setinggi leher saya, atau kurang lebih 100-120 cm. Pada Jumat lalu saya hampir tenggelam, tapi untung Winarsih masih kuat. Dia gendong saya, katanya. Seluruh perabot rumahnya hanyut, kecuali satu pesawat televisi ukuran 14 inci bisa diselamatkan. Pakaian hanya tinggal di badan. Kondisi yang sama buruknya juga dialami tetangganya, Ijan (74). Sama seperti Sa'ana, dia pun tidur di antara bantalan rel kereta api yang memang letaknya lebih tinggi dari rumahnya dan luput dari genangan air. Saya juga mulai merasa tidak kuat lagi. Selain tidak punya makanan, kami juga tidak bisa mandi. Pakaian di badan ini, saya pakai sejak Jumat lalu dan belum pernah diganti karena pakaian penggantinya juga tidak punya. Semua sudah hanyut, kata kakek dari lima cucu itu. Ijan sebenarnya pada Jumat lalu baru bisa menebus beras jatah untuk orang miskin atau raskin sebanyak 3 liter yang ditebus dengan uang Rp 1.600 per liter. Namun, beras itu pun sudah terendam banjir dan tidak bisa digunakan lagi. Mau beli beras lagi, harga terendah malah Rp 5.000 per kg. Terus bagaimana untuk beli minyak tanah, sayur dan lauknya, katanya. Dia memutuskan dari uang tunai yang dimilikinya Rp 10.000 untuk membeli tiga bungkus mi. Mi yang saya beli sudah habis. Untung ada tetangga yang membantu saya, sehingga bisa makan lagi hari ini (kemarin), meski hanya makan mi. Tapi badan saya jadi lemas, katanya dengan wajah sendu. Baik Sa'ana, Ijan maupun bebeberapa warga lain di Rawa Buaya, mengaku bahwa dampak banjir kali ini sungguh membuat mereka menderita. Soalnya, selain tidur di alam terbuka, stok makanan di warga juga sudah kosong. Berbeda dengan banjir tahun lalu, kali ini tidak ada bantuan yang diberikan untuk kami. Kalau saja punya uang dan makanan cadangan, kami tidak mengharapkan uluran tangan orang lain. Kami juga malu, kata seorang warga. Aminah (65), Sadyah (60) serta Sa'apa (35), warga RT 007/RW 03, Rawa Buaya juga menuturkan persoalan serupa. Tidak bermaksud mengemis, tetapi kami sampai sekarang belum mendapat bantuan apa-apa dari pemerintah, baik itu berupa makanan, pakaian atau selimut, maupun tenda. Tidak ada itu, kata Sunario (35), warga Jalan Marga Jaya II, Rawa Buaya. Rawa Buaya merupakan salah satu kawasan terparah yang tergenang banjir di Jakarta Barat. Dari seluruh 27.246 pengungsi di seluruh DKI Jakarta, sebanyak 23.341 orang di antaranya ada di Jakarta Barat. Salah satu kantong pengungsi itu ada di Rawa Buaya, yakni sekitar 4.221 orang, termasuk mereka yang terpaksa menetap di bantaran rel kereta api. Warga membangun tenda seadanya dari plastik tipis di antara bantalan rel. Tidak ada bantuan terpal. Sebagai alas tidur, mereka juga menggunakan plastik tipis serupa. Ada juga yang membuat tempat tidur dari triplek dan papan bekas beralaskan bantalan rel. Ada pula yang tidur tanpa penaung, atau tidur di alam terbuka. Sebenarnya, kami tidak terlalu mengkhawatirkan soal tidur. Mau tidur di pasir, atau di tanah, tidak masalah. Namun yang merisaukan kami ialah karena tidak ada stok makanan lagi, kata Sunario. Warga yang menggunakan rel kereta api sebagai tempat pengungsian mereka semuanya berasal dari tiga RT, yakni RT 007, RT 008, RT 009 di RW 03. Dalam menghadapi bencana ini mereka seperti sendirian. Tidak apa-apa. Hidup ini ibarat roda. Sebentar di atas, sebentar di bawah. Saya percaya, Tuhan Maha adil, kata Fatmawati (30), ibu dari dua anak. Di Jakarta Selatan, meskipun banjir telah menyusut sejak dua hari lalu di sejumlah titik di wilayah Jakarta Selatan, tenda pengungsian belum juga dibongkar. Kami bongkar tenda menunggu setelah Imlek lewat dulu. Karena saat Imlek kan biasanya selalu turun hujan deras. Jadi masih ada kemungkinan banjir lagi, kata Lurah Petogogan Mundari. Mundari mengatakan, tenda utama untuk warga Petogogan yang selalu diterjang banjir saat hujan masih dalam kondisi siaga. Segala perlengkapan logistik, termasuk makanan instan dan dua buah kompor, telah tersedia. Tenda tersebut kini masih berdiri di Jalan Wijaya I, Kebayoran Baru. Saat banjir hari Jumat lalu, hanya sekitar 120 warga yang mengungsi. Selebihnya tetap bertahan di lantai teratas rumah atau mengungsi ke rumah tetangga yang tak terlalu kebanjiran. Ketinggian banjir rata-rata 1,2 meter. Pada banjir besar Februari 2007, ketinggian 2,4 meter. Rumah warga di daerah banjir kini dipasang papan antar-genteng rumah.(SARI FEBRIANI) Post Date : 05 Februari 2008 |