|
Banda Aceh, Kompas - Hingga satu bulan bencana, pengungsi maupun warga di beberapa wilayah Nanggroe Aceh Darussalam masih mengandalkan ketersediaan air bersih dari tenaga bantuan teknis relawan atau militer asing. Setiap hari pengungsi menggunakan air bersih yang diangkut dengan menggunakan truk tangki atau mendatangi instalasi pengolahan air. Berdasarkan data satuan koordinasi pelaksanaan penanganan bencana, 70 persen dari biaya penyediaan air bersih dan sanitasi didanai pemerintah. Sisanya didanai lembaga swadaya masyarakat. Namun, di lapangan, banyak instalasi pengolahan air (IPA) yang justru dikerjakan oleh militer asing Di lokasi pengungsian besar di TVRI Banda Aceh, misalnya, instalasi air bersih dilakukan tentara Australia. Begitu pula PDAM di Lambaro yang difungsikan tentara Jerman. Relawan dari dalam negeri juga memberi andil dengan mendatangkan truk tangki. Setiap hari truk-truk tangki berkeliling dari satu lokasi ke lokasi pengungsian lain. Namun, ada pula warga yang antre di IPA yang dikelola militer asing, seperti di kota Banda Aceh. Dua hari terakhir, warga yang antre harus kecewa karena IPA tersebut berhenti beroperasi sementara karena persoalan sedimen dan bahan kimia. "Saya terpaksa beli air mineral untuk memasak dan minum kalau begini," kata Halimah, yang setiap hari antre untuk memperoleh tiga jeriken air bersih. Air sumur rumahnya tidak lagi bisa digunakan untuk memasak dan minum karena terkontaminasi air laut akibat tsunami. Koordinator Tim Rehabilitasi Instalasi PDAM NAD Azhari Ali mengatakan, ketersediaan air bersih di sebagian besar wilayah di NAD memang sangat mengandalkan bantuan relawan teknik di bidang pengolahan air, baik dari dalam maupun luar negeri. Hal itu disebabkan kekurangan sumber daya manusia dari NAD yang sebagian menjadi korban tsunami. "Sampai sekarang kami belum siap kalau harus menangani kebutuhan air sendiri," kata Azhari ketika dihubungi di Medan, Sumatera Utara, Selasa (25/1). Menurut dia, satu-satunya upaya yang bisa dilakukan untuk mencukupi kebutuhan air bersih di kawasan bencana adalah menyuplai air dengan truk tangki keliling. Jaringan pipa air di Meulaboh rusak lebih dari 50 persen. Begitu pula di Banda Aceh yang lebih dari 70 persen rusak. Menurut Azhari, pihaknya dipastikan mengalami kesulitan mencukupi kebutuhan air bersih warga bila para relawan dari dalam maupun luar negeri meninggalkan NAD pekan ini. Sementara pembangunan jaringan pipa air dan optimalisasi PDAM baru akan dilakukan seiring dengan tahap rehabilitasi yang rencananya akan dimulai akhir Februari 2005. "Sekarang ini kami sangat membutuhkan bantuan dari pihak lain. Itu pun baru bisa untuk mencukupi kebutuhan air minum. Air bersih untuk MCK (mandi, cuci, kakus) belum jadi prioritas," katanya menjelaskan. (LUK/GSA) Post Date : 26 Januari 2005 |