Pengomposan Masih Alternatif Terbaik

Sumber:Pikiran Rakyat - 03 Januari 2011
Kategori:Sampah Luar Jakarta

Benarkah teknologi insinerator untuk membakar sampah itu satu-satunya jalan keluar yang dibutuhkan Kota Bandung untuk menyelesaikan persoalan sampahnya? Benarkah teknologi yang mengubah sampah menjadi energi itu akan menyelematkan Kota Bandung dari lautan sampah seperti yang pernah terjadi pada 2005? Pertanyaan itu bisa jadi belum terjawab, sebab sampai saat ini teknologi yang didengung-dengungkan menjadi percontohan di Indonesia itu belum ada wujudnya. Namun, sudahkah kita mencoba cara yang lain?

Simon Sanjaya (46) misalnya, warga RW 4 Kel. Ciroyom, Kec. Andir, Kota Bandung itu punya cara untuk mengolah sampah. Ia menggunakan fermentor sampah. Di tempat tinggalnya di kawasan Rajawali ia membuat fermentor sampah yang ia gunakan untuk mengolah sampah-sampah organik yang berasal dari Pasar Ciroyom. Sederhana saja, bak segi empat terbuat dari batu bata. Di dasarnya dipasang penyaring yang memisahkan air dari sampah itu. Air disalurkan ke pembuangan, sedangkan sampahnya didiamkan saja sampai menjadi kompos. Bak tersebut cukup menampung 40 kubik sampah.

"Hanya butuh waktu dua minggu sampai jadi kompos," ujarnya.

Saat sampah sudah hampir menjadi kompos, ia memindahkannya ke cetakan-cetakan yang berbentuk pot. Dengan demikian, begitu menjadi kompos, tanaman sudah bisa langsung dimasukkan.

"Komposnya bisa digunakan untuk urban farming," ujarnya. Urban farming ialah salah satu strategi bercocok tanam yang sesuai diterapkan di perkotaan. Di daerah-daerah yang minim lahan. Dengan demikian, tanaman bisa ditanam di pot-pot.

Meski tak menggunakan pot, kompos akan tetap berguna. Bayangkan betapa suburnya tanaman dan bunga-bunga di ratusan taman di Kota Bandung jika semuanya diberi pupuk yang cukup, gratis pula! Ya gratis, sebab sampai saat ini Simon tidak menjual kompos itu. Siapa pun yang butuh bisa menggunakannya. Dari 10 kubik sampah bisa menghasilkan setengah kubik kompos.

Awalnya, Simon membuat fermentor di ukuran yang kecil. Setelah berhasil, barulah ia membuat fermentor yang lebih besar. Keunggulan fermentor ialah tidak menimbulkan bau dan tidak menggunakan zat kimia apa pun.

"Selama ini sampah itu bau karena sampah itu mengandung air. Akhirnya yang berkembang adalah bakteri pembusuk. Kalau air itu dipisahkan, yang berkembang ialah bakteri pengurai. Saluran airnya pun menjadi tidak berbau," katanya.

Metode ini sejak dua tahun lalu sudah ia tawarkan ke Pemkot Bandung. Namun, tak pernah ada respons serius dari Pemkot Bandung. Kini ia mencoba menawarkan metode itu ke DPRD Kota Bandung.

"Di Bandung ini butuh 50 set fermentor untuk 50 RW. Minimal diletakkan di RW-RW yang mempunyai pasar tradisional. Seperti di Andir, Ciroyom, Gedebage, dan sebagainya," ujarnya.

Setiap setnya terdiri atas empat fermentor. Empat fermentor itu untuk menempatkan sampah yang diambil setiap hari. Dengan demikian, sampah yang dimasukkan hari ini, tidak tercampur dengan sampah yang akan diambil keesokan harinya. Perhitungan kasarnya, untuk 50 fermentor itu diperlukan biaya sekitar Rp 5 miliar, sudah termasuk pembuatan infrastrukturnya.

Dengan cara ini, sampah organik di Kota Bandung akan tertangani dengan baik tanpa perlu insinerator atau apa yang sempat disebut sebagai Pembangkit listrik Tenaga Sampah (PLTSa).

Sebenarnya pembuatan kompos sudah dilakukan oleh warga Kota Bandung, mulai dari skala rumah tangga. Melalui program Bandung Green and Clean (BGC) yang juga diadakan Pemkot Bandung, komposting merupakan salah satu upaya pengelolaan linbah rumah tangga yang gencar dilakukan.

Juara Umum BGC 2010 RW 6 Kel. Palasari Kec. Cibiru misalnya. Melalui komposting, warga di sana berhasil memanfaatkan sampah organiknya. Dengan demikian, jumlah produksi sampah di RW itu semakin berkurang. Data yang terkumpul, pada 2008 sampah yang terkumpul 3,71 ton/bulan. Berkurang menjadi 2,97 ton/bulan pada 2009. Data terakhir hingga Juni 2010, produksi sampahnya 2,6 ton/bulan.

Di RW 10 Kel. Turangga, Kec. Lengkong, pengolahan sampah bahkan hingga memberikan penyuluhan kepada pembantu rumah tangga. Agar mereka bisa mulai memilah sampah. Mereka kemudian diajari membuat kompos dari sampah organiknya.

Pengolahan sampah rumah tangga dengan komposting menjadi salah satu kegiatan pokok yang dilakukan 200 RW peserta BGC. Artinya, upaya itu sedang dikembangkan.

Barangkali ada baiknya tidak selalu berkaca pada keberhasilan negara lain, sekali-sekali perlu juga berkaca pada kegagalan. Insinerator semacam itu pernah dicoba di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Keputih Surabaya. Tidak hanya gagal mengolah sampah, mesin insinerator itu lantas tak bisa beroperasi. Yang tersisa adalah utang untuk membeli mesin itu.

Kamis (30/12) lalu, DPRD Kota Bandung sudah menyetujui keinginan Pemkot Bandung menyisihkan APBD-nya sebagai biaya pengolahan sampah dengan insinerator itu melalui Perda tentang Belanja Pengolahan Sampah dengan Teknologi Ramah Lingkungan melalui Mekanisme Kerja Sama dengan Badan Usaha. Selama dua puluh tahun, APBD sudah dikaveling untuk membayar ke pihak ketiga yang sampai sekarang belum pasti besarannya. Menurut Ketua DPRD Kota Bandung Erwan Setiawan, besarannya sekitar Rp 50 miliar tiap tahun. Bagaimana jika sebelum waktunya mesin itu tak mampu lagi memusnahkan sampah? Atau barangkali kemampuannya menurun? Ah sudahlah... palu sudah diketuk. Masyarakat tetap membayar pajak dan retribusi. Sebab dari sanalah pemerintah bisa membayar kewajibannya. (Catur Ratna Wulandari/"PR")



Post Date : 03 Januari 2011