Produksi sampah DKI terus bertambah dari tahun ke tahun seiring meningkatnya jumlah penduduk. Menurut data, hampir 60 persen sampah DKI merupakan sampah rumah tangga. Untuk menekan volume sampah itu perlu adanya kebijakan pemerintah daerah agar masyarakat merasa dihargai karena telah mengolah sampahnya.
Pemerhati lingkungan perkotaan, Selamet Daryoni, mengatakan, sampah rumah tangga telah menjadi momok dalam peningkatan volume sampah di Ibukota. Sekitar 5.000 ton sampah DKI setiap harinya dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPA) Bantar Gebang, Bekasi.
Bila seperempat saja dari total sampah yang dibuang ke TPA itu diolah menjadi suatu produk yang bernilai ekonomis, tentu manfaatnya sangat besar. Karena sampah sebenarnya memiliki potensi ekonomi cukup tinggi dan mampu membuka peluang usaha. Sampah rumah tangga dapat diolah menjadi barang daur ulang atau pupuk organik.
Contohnya, salah satu perusahaan di TPA Bantar Gebang telah mampu mengolah sampah menjadi produk yang bernilai ekonomis seperti kompos. Tidak tanggung-tanggung, potensi ekonomi dari hasil pengolahan sampah telah mendorong PT Godang Tua Jaya Farming (GTJF) mendirikan pabrik kompos di lahan seluas sekitar 10 hektare. Lokasinya masih di sekitar TPA, tepatnya di Desa Ciketing Udik Kota Bekasi.
Saat ini PT GTJF mampu memproduksi lebih 200 ton kompos setiap hari. Bahan baku kompos itu berasal dari sampah Jakarta yang dibuang ke TPA. Di tempat pengolahan, sampah itu diolah dengan teknologi yang dirancang PT GTJF.
Sampah lebih dulu dikeringkan dan diletakkan di atas bambu-bambu. Kemudian ditutupi atap pada bagian atasnya. Di tempat ini, tumpukan sampah yang baru dibuang ke TPA langsung dirapikan para pekerja untuk kemudian dipindahkan ke mesin sortir berjalan.
Selanjutnya pekerja melakukan pemilahan sampah. Kayu, kerikil, batu, dan plastik harus disingkirkan agar tidak masuk mesin penghancur. Setelah dihancurkan, sampah organik kemudian ditumpuk dan siap diproses menjadi kompos.
Agar proses pengomposan berjalan cepat, tumpukan sampah yang sudah halus itu disiram bioaktivator. Beberapa hari kemudian, sebenarnya proses pembuatan kompos itu sudah selesai. Pekerjaan selanjutnya adalah pengepakan untuk pemasaran.
Mudah dan Singkat
Direktur PT GTJF Douglas J Manurung menjelaskan, mengolah sampah organik menjadi kompos bukan pekerjaan sulit. Prosesnya pun tidak memakan waktu lama. Selain sampah yang diolah menjadi kompos dapat menghasilkan uang, kegiatan itu juga merupakan bentuk kepedulian PT GTJF menyelamatkan lingkungan.
"Pengolahan sampah yang kami lakukan bukan semata-mata untuk bisnis. Tetapi, lebih kepada penyelamatan lingkungan. Bisa dibayangkan, kalau sampah terus ditumpuk dan tidak dikelola, suatu saat nanti lahan tempat sampah bisa tidak ada lagi," katanya.
Douglas memaparkan, kompos buatan Bantar Gebang diberi merek Green Botani. Kompos itu dikemas dalam plastik berbagai ukuran. Harganya cukup murah, yaitu bergantung pada campuran bahan lain yang dimasukkan.
Menurutnya, kompos produksi Bantar Gebang dapat digunakan di perkebunan kelapa sawit, tanaman jeruk, serta untuk rehabilitasi lahan kritis. Dia juga mengakui mengalami keterbatasan modal.
"Saat ini, kami hanya mampu mengolah sampah di TPA sekitar 500 ton per hari. Butuh modal besar untuk dapat mengolah sampah itu secara keseluruhan," katanya.
Ratusan warga sekitar TPA telah merasakan manfaat kehadiran pabrik kompos tersebut. Warga yang tinggal di sekitar TPA telah direkrut menjadi tenaga kerja dengan gaji sekitar Rp 30.000 per hari.
Douglas menambahkan, minat investor masuk ke bisnis itu sebenarnya cukup besar. Tetapi selama ini kurang mendapat dukungan pemerintah. Jika potensi ini digarap dengan baik bisnis kompos itu juga akan sangat membantu pengelolaan sampah yang selama ini tak pernah tuntas. [SP/Hotman Siregar]
Post Date : 06 Juni 2009
|