[BANDUNG] Pasar pulp (bubur kertas) berbasis serat panjang yang memiliki potensi ekonomi tinggi masih kurang mendapatkan perhatian di Indonesia. Padahal, setiap tahun, impor bahan kertas itu meningkat. Sampai 2008, impor mencapai 1,2 juta ton dari sebelumnya hanya 825.700 ton pada tahun 2002.
Peneliti dari Balai Besar Pulp dan Kertas (BBPK) Bandung Ligia Santosa mengatakan, Indonesia bisa membuat sendiri bahan kertas itu dari sampah kemasan makanan dan minuman yang ada di masyarakat. "Sekarang kami baru mengolah sekitar 20 ton sampah menjadi sekitar 10 ton bahan kertas," kata Ligia di Bandung, Kamis (12/11).
Padahal, keberadaan sampah kemasan pangan ini jumlahnya sangat melimpah. Diperkirakan pada tahun 2009, jumlahnya mencapai 25.000 ton. "Sekitar 60 persen sampai 70 persen peredarannya di Pulau Jawa. Yang jadi masalah, kami masih kekurangan pemasok bahan dari kemasan itu," katanya.
BPPK bisa mengolah sampah itu menjadi bahan kertas untuk pabrik-pabrik pengolahan kertas. Setiap kilogram (kg) bahan kertas yang memiliki kandungan air 10 persen dijual dengan harga Rp 3.500 per kg. Usaha pengolahan sampah ini juga memberikan keuntungan lain bagi pemulung, pengepul, dan bandar yang mengumpulkannya.
Endy Sulistiawan, mitra pengumpulan kemasan Tetrapak mengatakan, setiap pemulung bisa mendapatkan uang Rp 750 hingga Rp 800 per kg sampah kemasan. "Kami sampai saat ini sudah memiliki mitra sekitar 500 pemulung dari 24 titik pengumpulan di Bandung. Mereka bisa mengumpulkan minimal 80 kg sampai 1 ton sampah kemasan setiap minggu," katanya.
Ligia mengatakan, kertas yang dihasilkan dari sampah kemasan itu cukup baik dan kuat untuk jadi bahan kertas. Umumnya, dijadikan bahan untuk membuat kantong semen.
Communication Director Tetrapak Mignone Maramis mengungkapkan, dari sekitar 1,5 miliar kemasan yang mereka produksi, baru sekitar 5 persen saja yang terserap untuk diolah kembali. "Kini sudah meningkat dari kisaran 2 persen pada tahun sebelumnya," terangnya.
Menggandeng
Untuk meningkatkan pengolahan ulang kemasan tersebut, Tetrapak sudah menggandeng empat mitra di empat provinsi, yakni Jawa Timur, Jawa Barat, Bali, dan Jakarta. Hal ini, sejalan dengan kebijakan Tetrapak untuk mendaur ulang produknya, katanya.
Hanya saja, tingkat daur ulang di setiap negara tidak merata. Di Jerman, misalnya, daur ulang Tetrapak hampir 80 persen.
Asisten Deputi Urusan Pengendalian Limbah Domestik dan Usaha Skala Kecil Kementerian Negara Lingkungan Hidup Tri Bangun Laksono mengatakan usaha daur ulang produk kemasan ini sejalan dengan semangat UU No 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah. Dari sekitar 180 perusahaan yang menghasilkan produk makanan, baru 10 persen saja yang melakukan pengolahan kemasannya agar tidak menjadi sampah.
"Kami beri waktu hingga tahun 2013, apabila tidak melakukan perubahan maka kita akan bertemu di pengadilan," tegasnya.
Dia memberi contoh salah satu produsen mi instan yang bisa menghasilkan 11 miliar bungkus mi setiap tahun, namun tidak memiliki kebijakan untuk mengelola sampahnya. "Padahal, ini baru satu produsen saja," katanya. [153]
Post Date : 13 November 2009
|