|
Jakarta, Kompas - Untuk mengatasi masalah sampah warga DKI Jakarta yang kini meningkat menjadi 6.500 ton per hari (tahun 2002 masih 6.000 ton per hari), mau tidak mau tempat pengolahan sampah yang baru harus segera dibuat. Tempat baru itu harus benar-benar menjadi tempat pengolahan dan tidak hanya pembuangan seperti di Bantar Gebang, Bekasi, selama ini. Jika Tempat Pembuangan Sampah Terpadu Bojong sesuai peruntukan, Jakarta sebaiknya mencari alternatif lain. Hal itu dikatakan peneliti persampahan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Sri Bebassari, Kamis (15/1). "Saat ini, sampah kita ibaratnya sudah stadium lima dan harus diamputasi karena sudah sangat parah. TPA Bantar Gebang masih dalam pembahasan panitia khusus di Bekasi. Jika dibuka kembali, tempat itu sudah tidak layak dan hanya menjadi penampungan sementara sambil menyiapkan lokasi baru," paparnya. Menurut peneliti lain, Sri Wahyono, TPST Bojong sebenarnya sudah siap digunakan jika warga tidak menentangnya. Di sana sampah akan dipilah- pilah, dibuat kompos untuk sampah organik, didaur ulang untuk sampah non-organik, dan sisanya yang hanya sekian persen baru lah di-bala press. "Bala press itu nantinya juga harus dibuang ke landfill atau dibakar. Sisa pembakaran juga tetap masuk ke landfill. Saat ini investor sudah ada dan mesin bala press juga sudah jadi. Hanya saja sosialisasi kepada warga masih kurang," papar Sri. Pengolahan sampah yang membutuhkan biaya besar menjadi kendala tersendiri . Dibutuhkan Rp 1 triliun untuk mengolah 1.000 ton sampah. Padahal, selama ini warga hanya dipungut Rp 5.000 setiap bulan. "Di Singapura, warga membayar sampah setara dengan Rp 100.000 per bulan, sama dengan membayar listrik dan air. Butuh dana banyak untuk menjadi bersih," kata Sri. Saat ini yang dibutuhkan adalah payung hukum berupa undang-undang. Jika tidak, sampai kapan pun sampah akan terus menjadi masalah yang tak terselesaikan. "Saat ini KLH sedang membuat draf UU-nya setelah dibicarakan di Komisi 8. BPPT me-review master plan persampahannya," kata Sri. Sebagai perbandingan, Singapura membutuhkan waktu 30 tahun sehingga bisa mengolah sampah dengan baik, juga mendisiplinkan warganya agar membuang sampah secara benar. (IVV) Post Date : 16 Januari 2004 |