|
JAKARTA (Media): Sebanyak 80% industri di Indonesia menghasilkan limbah beracun, baik itu berupa logam berat maupun organik beracun yang bersifat karsiogenik. Dampak yang ditimbulkan dari limbah-limbah ini, antara lain dapat merusak liver hingga mengakibatkan kematian. Demikian kata peneliti Universitas Indonesia (UI) Slamet kepada Media di sela-sela acara Seminar Riset Unggulan UI, di Jakarta, kemarin. Ironisnya, kata Slamet, hanya sedikit dari industri tersebut yang telah mengolah limbahnya dengan optimal. Sebagian besar justru membuang begitu saja limbah beracun ke sungai. "Hanya sedikit saja industri di Indonesia yang peduli pada lingkungan. Jika ingin mengidentifikasi, lihat saja berapa perusahaan yang telah memiliki ISO lingkungan. Walaupun sebagian di antaranya telah memiliki analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) di lapangan, kita lihat sungai masih menjadi sasaran empuk pembuangan limbah," kata pria yang juga pengajar pada Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik UI itu. Fakta tersebut, lanjut Slamet, ia dapatkan dari pengamatannya sendiri di lapangan serta informasi alumninya yang telah bekerja di industri. Mereka melaporkan, sebagian besar industri tempat mereka bekerja tidak bersungguh-sungguh berupaya mengurangi kadar limbah buangannya. Slamet menegaskan, industri, termasuk yang berskala besar dan dimiliki asing, sebagian besar membuang begitu saja limbahnya ke sungai. Sebagian kecil berupaya mengurangi kadar zat beracunnya dengan melakukan upaya pengolahan. Namun, upaya yang dilakukan itu dinilai tak optimal. Pasalnya, langkah pengolahan itu hanya berupa pengendapan materi limbah dalam wadah tertentu. Setelah diendapkan, limbah cair tersebut dialirkan ke sungai. "Amdal tak menjamin, metode pengamatan yang paling tepat dalam mengawasi pengolahan limbah adalah turun langsung ke lapangan," ujar Slamet. Akibatnya, kata dia, berbagai jenis penyakit mengintai masyarakat Indonesia, baik itu secara langsung maupun tidak langsung. Penyakit yang ditimbulkan oleh terpaan limbah secara terus-menerus, antara lain kanker, keracunan, iritasi kulit, kerusakan hati dan ginjal, penurunan tekanan darah, pelemahan detak jantung, hingga kematian. Sayangnya, kata Slamet, belum ada upaya yang kuat dari pemerintah untuk membenahi masalah lingkungan ini. Hal itu terlihat dari bebasnya industri yang membuang limbahnya sembarangan dari jeratan hukum. Padahal, secara legal, membuang limbah dan meracuni lingkungan jelas dapat digolongkan sebagai tindakan melanggar hukum. Alasan yang dikemukakan industri, kata Slamet, pengolahan limbah menyedot dana yang besar. Mereka khawatir pengolahan limbah akan mengurangi keuntungan yang diperoleh. Mereka menganggap pengolahan limbah bukanlah kegiatan produktif dan hanya membebani ongkos produksi. Sebagai upaya mengatasi hal itu, Slamet kini mengembangkan penelitian bertema Recovery dan pengolahan limbah logam berat dan limbah organik secara simultan dengan teknologi fotokalistik. Penelitian yang masuk dalam kategori riset unggulan UI itu, kini tengah berada dalam tahap pengembangan. Penelitian itu berhasil menemukan metode pengolahan limbah cair mengandung logam berat maupun buangan organik beracun. Pengolahan dapat dilakukan bersama-sama menggunakan katalis tanpa bantuan reaktor. Energi yang digunakan adalah sinar matahari. Sementara katalisnya adalah titanium oksida. (Zat/H-4) Post Date : 09 Agustus 2005 |