jakarta, kompas - Pengolahan air limbah di Jakarta dinilai masih sangat buruk. Bahkan, jika dibandingkan dengan negara-negara berpenduduk 5 juta jiwa di dunia, pengolahan air di Jakarta adalah yang terburuk.
Anggota Dewan Sumber Daya Air (SDA) sekaligus anggota Badan Regulator Pelayanan Air Minum, Firdaus Ali, memaparkan hal itu kepada Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo di Balai Kota, Rabu (30/3).
Menurut Firdaus, saat ini baru 2,7 persen air limbah warga yang dilayani dan diolah secara terpadu. ”Ini jauh dari ideal. Kita harus membenahi demi kesehatan warga dan kualitas lingkungan Jakarta,” kata Firdaus.
Pengolahan terpadu
Untuk perbaikan itu, Dewan SDA DKI Jakarta mengusulkan adanya kebijakan pengolahan SDA yang mencakup pengolahan limbah secara terpadu.
”Targetnya, hingga tahun 2030 pelayanan pengolahan air limbah terpadu sudah mencapai 80 persen dari total jumlah warga DKI Jakarta,” tutur Firdaus.
Untuk mencapai target tersebut, sudah disusun berbagai langkah jangka pendek, menengah, dan panjang. Gedung perkantoran, misalnya, diharuskan mengolah kembali air limbahnya menjadi air bersih. Hasil olahan air limbah itu harus disimpan di tandon-tandon air yang sudah dikoneksikan ke hidran-hidran air milik Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana DKI. Jadi, saat terjadi kebakaran, petugas damkar bisa menggunakan hidran itu. ”Jadi, tidak ada lagi hidran air yang tidak bisa digunakan dengan alasan airnya kosong. Dengan begitu bisa membantu revitalisasi hidran air yang diupayakan Dinas Damkar,” katanya.
Pengelola gedung yang telah melakukan pengolahan air limbah ini kelak harus juga diberi insentif karena telah meringankan beban warga dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. ”Bentuknya bisa pengurangan pajak bumi dan bangunan,” tutur Firdaus.
Pengolahan di Bogor jebol
Persoalan pengolahan limbah juga masih terjadi di daerah sekitar Jakarta. Instalasi Pengolah Limbah Terpadu (IPLT) di Kecamatan Cilodong, Kota Depok, misalnya, sudah jebol. Kerusakan ini mengancam pencemaran air Kali Ciliwung.
Pasalnya, akibat dari jebolnya dinding pemisah pengolah limbah ini, pembuangan limbah dialihkan sementara ke tanah kosong di area itu, yang terletak sekitar 30 meter dari Kali Ciliwung.
”Jarak pembuangan 30 meter dari Kali Ciliwung terlalu dekat untuk ukuran limbah sebanyak itu. Apalagi, air Kali Ciliwung dipakai sebagai bahan baku air bersih untuk masyarakat Depok,” tutur Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Depok Rahmat Subagyo di Depok, Jawa Barat.
Hasil penelitian BLH Kota Depok mendapati kadar biochemical oxygen demand (BOD) pengolahan limbah itu juga telah melampui batas normal. Kandungan BOD-nya mencapai 300 miligram per liter. Padahal, ambang batas normal kandungan BOD, maksimal 150 miligram per liter.
Kondisi ini dapat membahayakan kesehatan masyarakat. Pencemaran air tanah dapat terjadi di sekitar lokasi pengolahan. Warga tidak boleh membangun sumur tanah dalam radius 100 meter dari lokasi pengolahan limbah. Jika terlalu dekat membangun sumur di sekitar instalasi, air tanah bisa tercemar bakteri Escherichia coli atau disingkat dengan Ecoli. Dampak mengonsumsi air yang tercemar bakteri ini adalah serangan diare. Kepala Unit Pelaksana Teknis IPLT Kota Depok Omo Syahromi mengakui bahwa instalasi pengolahan limbah itu perlu diperbaiki. ”Memang instalasi ini sudah saatnya diperbaiki. Bangunan pengolahan limbah dibangun tahun 1990 ketika Depok masih menjadi bagian dari Kabupaten Bogor,” tuturnya. (ARN/NDY)
Post Date : 31 Maret 2011
|