Jakarta, Kompas - Metodologi penghitungan emisi di Indonesia selama ini masih mudah ”digoyang” atau diubah- ubah. Salah satu penyebab utamanya adalah di dalam negeri belum ada lembaga yang ditetapkan sebagai pemberi sertifikasi bagi hasil penghitungan emisi.
”Penghitungan masih bergantung pada lembaga sertifikasi luar negeri,” kata pakar perubahan iklim dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Hidayat Pawitan, Rabu (20/1).
Hidayat menuturkan, sebelum penyelenggaraan Konferensi Perubahan Iklim PBB di Kopenhagen, Denmark, ada upaya yang dipelopori Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) untuk menghitung kembali emisi di Indonesia. Penghitungan emisi itu untuk mengevaluasi penetapan Indonesia sebelumnya, yang disebutkan Indonesia sebagai negara pengemisi terbesar ketiga di dunia.
”Penghitungan itu terhenti hingga sekarang dan tidak membuahkan hasil,” kata Hidayat. Ia mengemukakan, bahkan penghitungan emisi bisa menjadi tidak pasti atau tidak jelas rinciannya karena bisa bergantung pada kepentingan.
Hidayat pernah menemukan data penghitungan total emisi di Indonesia sebesar 2,3 gigaton karbon dioksida ekuivalen. Tetapi, suatu ketika dijumpai pula angka 1,2 gigaton emisi karbon dioksida ekuivalen.
”Data emisi yang besar, yaitu 2,3 gigaton saya lihat waktu itu karena untuk kepentingan mencari dana program perubahan iklim dari luar negeri,” katanya.
Sekretaris Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Agus Purnomo menyatakan, saat ini pemerintah telah mencanangkan target penurunan emisi sebesar 26 persen. Target itu dihitung dari angka emisi 2,95 gigaton yang diperkirakan terjadi pada tahun 2020.
Wakil Ketua Komisi VII DPR Achmad Farial saat rapat dengar pendapat dengan DNPI dan beberapa lembaga swadaya masyarakat beberapa waktu lalu mempertanyakan pula penetapan angka 26 persen reduksi emisi yang sama sekali belum dimengerti masyarakat luas.
”Apa yang harus dikerjakan setiap provinsi untuk menurunkan emisi 26 persen itu. Ini yang belum dimengerti,” kata Farial.
Menurut dia, masyarakat jangan sampai keliru antara reduksi emisi dan penanaman pohon. ”Menanam pohon adalah untuk memperoleh stok karbon ketika pohon-pohon itu berhasil tumbuh dan menyerap emisi karbon. Ini berbeda dengan mereduksi emisi,” kata Hidayat.
Secara terpisah, Kepala Bagian Pemberitaan Sekjen DPR Suratna meluruskan, dalam berita Kompas Selasa (19/1), berjudul ”Perubahan Iklim Reduksi Emisi 26 Persen”, tertulis anggota Komisi VII DPR, Ismayati, seharusnya yang betul adalah Ismayatun. (NAW)
Post Date : 21 Januari 2010
|