|
Pegunungan Kendeng Utara di Jawa Tengah dan Taman Nasional Lore Lindu di Sulawesi Tengah dipisahkan jarak lebih dari seribu kilometer. Lokasi keduanya, memang terletak di dua pulau berbeda. Namun, hujan deras akhir pekan lalu, membuahkan petaka yang sama pahitnya bagi warga di sekitar dua kawasan tersebut. Banjir bandang mengoyak ketenangan hidup warga di dua daerah itu. Di lereng Pegunungan Kendeng Utara, air bah dari anak Sungai Jeratun tidak hanya menewaskan dua warga setempat, tetapi juga merusak 124 rumah di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jateng. Adapun di lereng perbukitan di kawasan Taman Nasional Lore Lindu, sebanyak lima warga tewas dan satu lainnya hilang ketika banjir menerjang Desa Bola Papu, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulteng. Hantaman air bah bercampur bebatuan, batang, dan akar pepohonan, membuyarkan suasana bahagia menyambut Natal di daerah yang terletak 75 km selatan Kota Palu itu. Baik di Pati maupun di Sigi, musibah itu diduga akibat kerusakan hutan di bagian hulu. Perubahan fungsi kawasan konservasi yang tak terkendali kini ibarat menebar ”bom waktu” bagi warga di hilir. Warga sekitar gundah karena hujan yang tidak mengenal musim berpotensi membawa bencana. Camat Sukolilo, Sukismanto, mengatakan, ribuan hektar lahan di atas Pegunungan Kendeng Selatan masuk wilayah Kabupaten Grobogan dan Pegunungan Kendeng Utara sudah jadi lahan tadah hujan. Itu artinya, ribuan pohon tanaman keras sudah ditebang dan dirobohkan. Peneliti dari Sheep Indonesia di Pati, Husaini, mengemukakan, kegelisahan warga masyarakat Sukolilo beralasan. Penambangan di kawasan Sukolilo terus terjadi, tanpa memperhatikan keseimbangan lingkungan. Pada Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KPPT) Pati, hanya tercatat enam izin usaha pertambangan yang resmi. Praktiknya, di lapangan bisa ditemukan lebih dari 35 usaha pertambangan galian C, mencakup batu kapur dan fosfat. Tanpa pemulihan lahan, rehabilitasi kawasan hutan, dan penghentian kegiatan usaha tambang ilegal, bencana tanah longsor dan banjir akan terus menghantui warga di Pati bagian selatan ini. Kasus serupa pernah terjadi awal 2010 di Kedungwinong yang menewaskan lima penduduk. Kawasan Sukolilo yang dulu adalah hutan asri dan lahan pertanian yang hijau, kini masuk dalam daftar 12 kecamatan yang rawan banjir. Kondisi serupa terjadi di Kecamatan Kulawi, termasuk Desa Bola Papu, yang berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Air bah yang melanda Kulawi ibarat isyarat ”ironi” yang terkirim dari lebatnya pepohonan dataran tinggi Sigi. Tanda-tanda kerusakan lingkungan mulai nyata. Doddi Putro Nugrahanto, anggota Tim Geologi dari Bala Keselamatan yang melakukan penelitian pascabencana, menemukan telah terjadi perubahan struktur tanah yakni bagian atas berada di bawah dan bagian bawah berada di atas. Itu juga yang memicu menggelosornya bebatuan besar dari gunung dan pohon-pohon yang berdiameter satu meter lebih. Saat ini struktur tanah bahkan tidak jelas dan sangat rawan. Wakil Gubernur Sulawesi Tengah Sudarto, mulai prihatin atas kondisi hutan di Kawasan Taman Nasional Lore Lindu. ”Kalau terjangan banjir membawa batang kayu besar dan batu, biasanya ada penebangan kayu yang tak terkendali,” kata Sudarto. Ia berencana akan memanggil pihak taman nasional untuk memberi penjelasan. Akan lebih komprehensif jika penjelasan disertai gambar dari udara. Penggundulan di hulu menebar petaka di hilir.... (WHO/HEN/REN) Post Date : 08 Desember 2011 |