|
Jakarta, Kompas - Keseriusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menekan penyedotan dan pembuangan air tanah berlebihan mulai tampak hasilnya. Penggunaan air tanah dari sumur dalam di pusat-pusat kawasan bisnis dan industri mulai berkurang. Berdasarkan pantauan Dinas Pertambangan DKI Jakarta dengan alat telemetri, Jumat (18/4), penyedotan air tanah mulai berkurang dari biasanya. Pengusaha dan pengelola gedung tinggi lebih memilih menggunakan air PAM daripada air tanah untuk menghindari sanksi. Kepala Subdinas Bina Usaha Air Bersih, Dinas Pertambangan DKI Jakarta, Dian Wiwekowati mencontohkan, alat telemetri yang dipasang di sumur pantau di Jalan Bogor Raya menunjukkan ketinggian permukaan air naik dari -27,7 meter menjadi -27 meter. Di dekat Waduk Melati, Tanah Abang, ketinggian permukaan air di sumur pantau naik dari -26,9 meter menjadi -26,5 meter. Naiknya permukaan air itu, kata Dian, mengindikasikan adanya pengurangan penyedotan air tanah dari sumur dalam. Jika kondisi ini terus berlanjut, lapisan air tanah dapat mulai diperbaiki atau setidaknya dipertahankan. Hasil ukuran telemetri di 16 lokasi di Jakarta akan dianalisis lagi oleh Dinas Pertambangan untuk menentukan strategi pengawasan. Jumlah telemetri di sejumlah sumur pantau juga akan diperbanyak untuk memperketat pengawasan. Dian mengatakan, selain mengurangi penyedotan air tanah, beberapa pengusaha sudah minta data penyedotan air yang mereka lakukan dan batas yang diizinkan. Kesadaran membatasi penggunaan air tanah adalah sinyal positif untuk mengurangi laju penurunan permukaan tanah. Untuk mengefektifkan pengurangan penggunaan air tanah, Dinas Pertambangan sedang menyusun rancangan peraturan gubernur yang mengatur kenaikan tarif air tanah. Kepala Dinas Pertambangan DKI Jakarta Peni Susanti mengatakan, tarif air tanah yang dulu Rp 525 sampai Rp 3.300 per meter kubik bakal dinaikkan menjadi Rp 8.800 sampai Rp 23.000 per meter kubik. Tarif itu jauh lebih tinggi dari tarif air PAM tertinggi, Rp 12.500 per meter kubik. Gedung BPPT tetap aman Asisten Deputi Urusan Promosi dan Komersialisasi pada Kementerian Negara Riset dan Teknologi Pariatmono, Jumat di Jakarta, mengatakan, Tim Peneliti Gedung I Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi di Jalan MH Thamrin yang terkena dampak penurunan tanah menemukan terjadi kemiringan berkisar setengah derajat. Kemiringan relatif sangat kecil sehingga gedung yang dibangun pada tahun 1974 itu tetap dinyatakan aman. Tingkat kemiringan juga masih ditelusuri penyebabnya. Kemungkinannya memang terjadi sejak awal dibangun, atau memang terkena dampak pembangunan ruang bawah tanah Gedung Departemen Agama yang letaknya bersebelahan. ”Penurunan tanah disebabkan kegiatan pengeluaran air (dari galian tanah sedalam 14 meter) untuk pembangunan basement (lantai bawah tanah) di Gedung Departemen Agama,” kata Pariatmono. Dampak pengeluaran air pada galian tanah untuk basement itu menyebabkan pori-pori tanah menjadi kosong. Akibatnya terjadi pemampatan tanah karena terdapat beban di atasnya, termasuk Gedung BPPT yang berjarak tidak lebih dari 100 meter. Berdasarkan pemantauan Kompas, saat ini konstruksi beton untuk basement Gedung Departemen Agama sudah dibuat. Menurut Pariatmono, pembangunan konstruksi itu sesuai saran tindak lanjut untuk mengurangi dampak penurunan tanah. (ECA/NAW) Post Date : 19 April 2008 |