AROMA tak sedapme rebak di Balai Kelurahan Danuku suman, Kecamatan Serengan, Kota Solo, akhir pekan lalu. Bau busuk itu berasal dari kantong-kantong plastik yang tergeletak di halaman.
Di lokasi yang sama, hanya berjarak setengah meter, lima drum plastik berwarna biru ber diri berjajar. Di sisi kiri drum dan kantong-kantong itu, terdapat mesin yang biasa digunakan untuk menggiling kelapa. Lima pria tampak sibuk hilir mudik di sekitarnya.
Di ruang pendopo kelurahan, seorang pria sedang menyiapkan sebuah tungku perapian. Di atas tungku yang dibuat dari tumpukan batu bata itu ditempatkan sebuah tabung. Warnanya hitam dengan tinggi sekitar 1,5 meter dengan bagian tutup berbentuk kerucut.
Persis di sebelah tabung itu, terdapat sebuah drum yang juga berwarna hitam setinggi kurang lebih 2 meter. Antara tabung dan drum itu hanya dipisahkan jarak sekitar 1 meter. Sebatang pipa stainless steel berukuran kecil yang sebagian berbentuk melingkar menyerupai pegas menghubungkan keduanya.
Seiring matahari yang semakin meninggi, warga yang berdatangan ke kantor kelurahan semakin banyak. Semuanya laki-laki.
Sebagian di antara mereka merubung mesin penggiling kelapa dan sebagian lainnya lagi sibuk membantu menyiapkan tungku perapian. Hari itu Lurah Danukusuman, Sutiyo Lego Legowo, sengaja mengumpulkan mereka untuk mengikuti pelatihan membuat minyak sampah dari Forum Perdamaian Lintas Agama dan Golongan (FPLAG).
Sesaat, mereka diberi pengarahan singkat oleh Petrus, seorang anggota FPLAG yang bertindak sebagai instruktur. Ia menjelaskan proses pembuatan sejak awal hingga akhir. Setelah dirasa cukup, warga disuruh mempraktikkannya. Menggiling sampah Seorang pria dengan satu tarikan kencang menyalakan mesin penggiling kelapa. Suaranya menderu keras. Beberapa pria lain membuka satu demi satu kantong plastik dan mengeluarkan isinya.
Ada semangka, pir, apel, jeruk, dan pisang. Semua buah yang mulai membusuk itu dimasukkan ke mesin untuk digiling. Hasilnya ditampung dalam ember hitam. Dengan menggunakan kain kassa, hasil penggilingan kemudian diperas. Air perasan ditampung dalam ember berukuran cukup besar.
"Proses selanjutnya adalah fermentasi, yakni mengurai karbohidrat yang berasal dari selulosa dan glukosa di dalam air buah menjadi etanol," kata Petrus melalui pengeras suara.
Caranya, air hasil perasan tadi diberi campuran ragi, pupuk urea, dan NPK dengan perbandingan satu liter air, 100 gram ragi, dua sendok makan urea, dan satu sendok makan NPK. Air kemudian disimpan dalam drum plastik yang tertutup. Agar hasil fermentasi bagus, proses penyimpanan dilakukan antara lima dan tujuh hari. Salah satu tanda fermentasi berhasil adalah jika air tidak berbuih.
Tahap selanjutnya adalah penyulingan. Air hasil fermentasi dimasukkan ke tabung hitam berujung kerucut tadi. Tungku perapian pun dinyalakan hingga air hasil fermentasi mendidih.
Uap dari pro ses ini kemudian dialirkan ke drum. Untuk membantu proses pendinginan, bagian atas drum dialiri air terusmenerus. Hasil akhirnya berupa cairan jernih. Baunya mirip ciu, yakni bahan baku pembuat an alkohol yang biasa diproduksi warga Bekonang, Sukoharjo, Jawa Tengah. “Bioetanol ini memiliki kadar antara 50%-55%. Daya bakarnya setara dengan minyak tanah,” kata Petrus.
Untuk membuktikannya, dia mengambil sebotol plastik cairan tadi. Kemudian menuangkannya ke dalam se buah kompor yang dibuat secara khusus. Sekilas mirip kompor minyak tanah, hanya saja lubang sumbu terletak di bagian atas. Celah antara sumbu dan bagian tengah kompor digunakan sebagai bak penampung bahan bakar.
Di bak itulah bioetanol dituang, takarannya disesuaikan dengan kebutuhan. Untuk merebus satu ceret air, cairan yang dituang kira-kira tiga perempat bak penampung. Kemudian kompor disulut.
Ternyata benar, cairan tadi langsung terbakar. Berbeda dengan kompor minyak tanah atau elpiji, api yang dihasilkan kompor berbahan bakar bioetanol ini Manfaatkan sampah Ia mengatakan, ada banyak alasan mengapa pemerintah Ke lurahan Danukusuman begitu semangat mendorong warganya mengikuti pelatihan FPLAG ini.
Pertama, supaya bisa memanfaatkan sampah organik yang selama ini dibuang begitu saja dan ikut mencemari lingkungan. Yang kedua, untuk memberikan solusi alterna tif bagi warga yang mengha dapi persoalan bahan bakar un tuk memasak.
“Minyak tanah sekarang sudah terlalu tinggi, sedangkan un tuk menggunakan gas elpiji banyak warga yang takut lantaran banyak kecelakaan yang di timbulkan. Jadi, sekarang banyak warga yang beralih ke anglo, padahal mencari arang juga tidak mudah,” kata Sutiyo.
Ke depan, dia berharap warganya bisa memproduksi sendiri bioetaol mengingat pembuatannya tidak sulit. Dari satu kuintal sampah organik bisa dihasilkan sekitar 5-6 liter bioetanol.
Dengan asumsi setiap rumah tangga membutuhkan bahan ba kar satu liter per hari maka 1 kuintal sampah bisa dikelola enam keluarga bersama-sama.
Apalagi, kata dia, secara ekonomis biaya memproduksi bioetanol ini murah. Untuk 1 liter bioetanol ongkosnya sekitar Rp5.000-Rp7.000. Jauh lebih murah daripada minyak tanah yang kini mencapai Rp10.000 per liter.
“Kami mendukung kegiatan ini sehingga tahun depan bisa mendapat bantuan dana dari pemda,” kata Sutiyo. Ferdinand
Post Date : 28 Juni 2010
|