Banjir di Jakarta sering mengejutkan. Tinggi air mampu menenggelamkan perumahan. Namun ada perumahan yang bisa mengendalikannya dengan sistem polder. Banjir yang terjadi Februari 2002 lalu benar-benar mengejutkan warga Jakarta, sekitar 10.000 hektare permukiman warga digenangi banjir. Ibu Kota lumpuh, bahkan di beberapa tempat ketinggian air mencapai empat meter.
Korban jiwa yang ditimbulkan mencapai delapan puluh orang, dengan kerugian ekonomi langsung sekitar 5,4 triliun rupiah. Belum lagi dampak ekonomi yang tidak langsung, diperkirakan mencapai 4,5 triliun rupiah.
Banjir dengan skala luas kembali berulang pada 2007. Meski tidak separah 2002, tapi akibat yang ditimbulkannya cukup luas. Setidaknya 60 persen wilayah Jakarta digenangi air, 150.000 jiwa warga harus meninggalkan rumahnya untuk mengungsi.
Banjir semacam ini memang semakin kerap mengunjungi kota metropolitan ini, merata hampir di seluruh kota. Maklum, di samping dekat dengan pantai, tinggi muka tanah di daerah ini juga berada di bawah permukaan laut. Akibatnya, pengaliran air secara normal, dengan mengandalkan gravitasi Bumi, tak bisa dilakukan di tempat ini.
Untuk menyelesaikan masalah banjir di Jakarta memang bukan perkara mudah. Sejak zaman Belanda, Jakarta sudah sering diganggu oleh air. Dalam catatan sejarah, Jakarta sudah merasakan banjir besar pada 1621, diikuti tahun 1654 dan 1876. Kerepotan mengurusi banjir, tahun 1922 Pemerintah Hindia Belanda merasa perlu untuk membangun Banjir Kanal Barat.
Sayangnya, semakin hari, masalah banjir semakin kompleks saja. Penyelesaian yang diambil selalu kalah cepat dengan permasalahan yang muncul. Melihat dari meratanya banjir di Jakarta, ada fenomena yang cukup menarik, yaitu salah satu daerah di Jakarta Utara yang dalam beberapa tahun terakhir ini tidak mengalami banjir, sebuah kawasan perumahan elite, Pantai Indah Kapuk. Masyarakat sempat menuding salah satu penyebab banjir adalah karena kawasan perumahan ini meninggikan seluruh lahan di tempat itu sehingga air sama sekali tak bisa masuk.
Sistem Polder
Belakangan memang pendapat itu berhasil ditepis, karena daerah ini menggunakan sistem polder dalam usaha pengendalian banjirnya. Bagaimana sebenarnya sistem itu bekerja sehingga banjir tak pernah lagi menjangkau kawasan ini? “Polder adalah satu daerah tertutup yang tinggi muka airnya selalu dikontrol,” kata Sawarendro, Ketua Indonesia Land Reclamation and Water Management Institute (ILWI), sebuah lembaga nirlaba yang bergerak di bidang pengelolaan air dan reklamasi.
Dengan menggunakan sistem ini, satu kawasan akan terjaga jumlah airnya meskipun di musim penghujan. Kondisi seperti ini sekaligus membebaskan wilayah tersebut dari ancaman banjir. Di sisi lain di saat musim kemarau kawasan polder justru tetap menyimpan air, sebab sistem ini mengharuskan tersedianya waduk penahan air. Dengan adanya air tersebut maka kandungan air tanah di daerah ini masih terjaga di musim kemarau.
Bagaimana sistem polder bekerja? Sistem polder bisa dibuat untuk satu kawasan dengan luasan yang bervariasi dari puluhan hingga ratusan hektare. Kawasan yang berpotensi banjir tersebut diberi batas keliling yang juga berfungsi sebagai tanggul. Jalur yang tidak dapat dilalui air itu berfungsi sebagai batas hidrologi. Dengan adanya tanggul ini, air dari daerah lain tidak bisa masuk ke daerah polder.
Meski di sebelahnya terdapat laut atau sungai yang tinggi muka airnya melebihi dataran yang berada di kawasan polder, daerah tersebut tetap aman dari limpahan air. Dalam kenyataannya, tanggul tersebut nyaris tak terlihat sama sekali karena bisa difungsikan sebagai jalan raya dan rel kereta api. Bahkan di kawasan perumahan biasanya para pengendara mobil tak pernah tahu bahwa jalan yang mereka gunakan berfungsi sebagai tanggul.
Meski demikian air tak seluruhnya bisa ditahan, karena di samping air limpahan tentu ada pula air rembesan (seepage) yang masuk ke kawasan tersebut. Air ini juga harus dikelola karena jika permukaan air di sebelah kawasan polder lebih tinggi tentu jumlah air rembesan juga banyak. Ini dapat pula menyebabkan tejadinya genangan. Melalui drainase tertutup, air ini harus dialirkan ke dalam waduk penahan air yang juga telah dibuat di kawasan tersebut.
Sumber air lain yang bisa menyebabkan banjir di daerah tersebut adalah air hujan. Dalam sistem ini air hujan yang menggenangi permukaan kawasan dialirkan melalui drainase permukaan ke dalam waduk. Sehingga setinggi apa pun curah hujan, air tidak sampai tergenang di permukaan kawasan. Karena melalui drainase, permukaan air langsung dialirkan ke waduk.
Untuk air yang berasal dari limbah rumah tangga, air tak boleh langsung disalurkan ke waduk. Air limbah harus terlebih dahulu diolah sebelum dialirkan ke waduk. Ini dilakukan untuk menjaga agar waduk tidak tercemar. Setelah diolah air dialirkan langsung ke saluran pemompaan atau ke waduk melalui saluran. Saat musim hujan waduk harus dikontrol ketinggiannya.
Jika air sudah melebihi batas toleransi maka air tersebut harus dialirkan ke laut atau ke saluran makro atau sungai. Jika melalui saluran makro, maka saluran tersebut harus mengalir langsung ke laut. Untuk mengeluarkan air dari kawasan tersebut maka polder memunyai struktur keluar (outlet structure). Struktur ini berupa pompa air dan bisa juga dilengkapi dengan pintu air. Dengan kontrol seperti ini maka kawasan akan terbebas dari banjir.
Jika sistem ini bisa berjalan dengan baik maka air tak akan membanjiri kawasan tersebut, walaupun tinggi air di sekitar kawasan jauh melebihi tinggi muka tanah di wilayah polder. Di musim hujan tinggi air terus dimonitor sehingga setiap kali air melebihi ambang batas maka air segera dibuang ke luar.
Sistem ini menuntut adanya petugas yang terus-menerus memonitor tinggi air, terutama di kala musim hujan sehingga kawasan akan terus terbebas dari genangan air. Sedangkan di musim kemarau, pengontrolan relatif lebih longgar karena ancaman air tak begitu besar. Sebaliknya air yang berada di dalam waduk justru menjadi penyeimbang kandungan air tanah di kawasan tersebut. Waduk penahan air tersebut juga bisa dijadikan daerah untuk wisata keluarga, bahkan bisa juga untuk pemancingan.
Sistem seperti inilah yang banyak digunakan di kota-kota besar di Belanda, termasuk untuk Bandara Schiphol, Amsterdam. Salah satu pelabuhan udara tersibuk di dunia ini memakai sistem polder karena posisinya yang berada di bawah permukaan air laut. “Sejarah perkembangan sistem ini sendiri sudah ada sejak seribu tahun lalu,” kata Sawarendo, ahli polder yang cukup terkemuka di Indonesia.
Awalnya ketika para petani di Belanda ingin menggarap lahan pertanian yang mereka miliki, para petani itu mengolah tanah gambut miliknya dengan membuat parit dan kanal. Tapi, kenyataannya sistem drainase kanal terbuka buatan manusia tersebut ternyata memicu penurunan muka tanah (subsidens). Ini tentu mengancam kawasan-kawasan yang berbatasan dengan laut. Karena permukaan tanah yang semakin menurun maka kawasan tepi pantai semakin tenggelam karena dibanjiri air laut.
Agar tak terjadi banjir para petani berpikir sederhana yaitu dengan membangun tanggul. Pertama kali bangsa Belanda mengenal tanggul tersebut kira-kira 1.000 tahun yang lalu. Perlahan-lahan penahan air sistem tanggul tersebut berkembang menjadi sistem polder yang disempurnakan terus-menerus serta diperluas penggunaannya. Kini semakin lama sistem polder semakin diakui sebagai suatu solusi untuk menghindari satu kawasan dari bencana banjir.
“Di Jakarta sistem seperti ini sangat cocok karena ancaman penurunan tanahnya juga cukup besar,” ujar lulusan Technische Universiteit Delft, Belanda, ini. Karena itu, di samping penanggulangan banjir, juga harus ada upaya meminimalisasi berkurangnya air tanah di daerah ini. cit/L-1
Post Date : 14 Juli 2009
|