PEMERINTAH provinsi DKI Jakarta berencana menerbitkan peraturan daerah (Perda) yang mewajibkan seluruh pengembang kompleks perumahan di Jakarta mengelola sampahnya secara mandiri. Perda tersebut ditargetkan terbit pertengahan tahun 2012.
Wacana penerbitan peraturan tersebut telah diperbincangkan sejak tahun 2010. Alasan utama, permukiman warga termasuk kompleks perumahan merupakan kawasan yang paling tinggi memproduksi sampah, baik sampah organik maupun anorganik.
Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta Eko Bharuna mengatakan, sampah yang dihasilkan permukiman bisa mencapai 52,9 persen dari total sampah yang dihasilkan di Kota Jakarta, yakni lebih dari 6.000 ton per hari. Satu kawasan permukiman diperkirakan menyumbang sekitar 80-100 ton per hari.
"Jika seluruh developer di Jakarta mengikuti peraturan tersebut, maka upaya Pemprov DKI Jakarta mengurangi volume sampah hingga 12 persen pada 2015 nanti bisa tercapai," kata Eko saat dihubungi Jurnal Nasional, Kamis (30/6).
Selama ini, lanjut Eko, pengelolahan sampah di kawasan kompleks perumahan warga dibebankan kepada pemerintah provinsi, yakni Dinas Kebersihan DKI. Termasuk biaya pengangkutan dan pengelolaan. "Gratis. Semua diserahkan ke Pemprov DKI," kata Eko.
Alhasil, tidak jarang volume sampah yang dihasilkan satu kawasan perumahan melebihi kapasitas tempat pembuangan sampah sementara (TPS). Karena seluruhnya tidak bisa diangkut, banyak sampah yang tertinggal menumpuk dan menyebabkan pencemaran bau di sekitar kawasan perumahan.
Tetapi, akan berbeda jika sampah dikelola sendiri oleh pengelola perumahan dan masyarakatnya. Berdasarkan rancangan perda tersebut, setidaknya 90 persen sampah yang dihasilkan warga akan kembali diolah secara mandiri. Sisanya, atau disebut residu, akan diangkat oleh dinas kebersihan. "Tidak lebih dari 10-15 persen. Selebihnya, akan kita tinggal untuk diolah sendiri," kata Eko.
Dengan mengelola secara mandiri, diharapkan warga di perumahan akan mengurangi volume sampah yang diproduksi rumah tangganya setiap hari. Sementara, sampah-sampah yang dibuang bisa dikelola sendiri demi kepentingan komunitasnya. Salah satunya lewat program 3R: reduce, recycle, dan reuse yang mengikutsertakan warga dalam prosesnya.
Eko mencontohkan, sampah-sampah anorganik --seperti: besi dan plastik-- bisa didaur ulang atau dijual ke penampung. Dan, berbagai sampah organik bisa didaur ulang menjadi kompos yang bisa dimanfaatkan sebagai pupuk penyubur taman-taman di perumahan.
Eko menyadari, pemberlakuan aturan ini bisa berhadapan dengan penolakan dari pengelola kawasan permukiman, karena harus mengeluarkan anggaran lebih menyediakan fasilitas pengelolaan secara mandiri. "Upaya ini tidak akan bisa langsung diterapkan dan diterbitkan perda-nya. Perlu kawasan percontohan agar seluruh stakeholder bisa melihat sendiri bahwa ini bisa dilakukan dan menguntungkan semua pihak," katanya.
Sebagai kawasan percontohan, tahun ini Kompleks Perumahan Pantai Indah Kapuk (PIK) sudah mulai menerapkan pengelolaan sampah rumah tangganya secara mandiri. Pengelola kawasan PIK --bekerja sama dengan investor dan Yayasan Buddha Tsu Chi-- mengolah sampahnya sendiri di lahan seluas tiga hektare di kompleks perumahan itu untuk pembangunan sentra 3R.
Sampah yang diolah akan menjadi sumber listrik dan kompos dengan kapasitas produksi sekitar 250 ton per hari. Selain di PIK, dinas kebersihan juga berencana mengembangkan Sentra 3R di Pesanggrahan (Jakarta Selatan), Rawasari (Jakarta Pusat), Pulogebang (Jakarta Timur), dan Durikosambi Barat (Jakarta Barat).
Aktivitas 3R ini diprediksi mampu mereduksi sampah sebanyak 752 meter kubik per hari. Jumlah itu sama dengan 167,11 ton per hari atau sekitar 7 persen dari timbunan sampah. Aktivitas tersebut diyakini cukup membantu mengatasi beban TPS yang tiap hari harus menampung sekitar 6.000-6.500 ton sampah warga Jakarta per hari.
Eko yakin, kegiatan memilah, mengurangi, dan menggunakan kembali sampah, efektif untuk mengurangi volume produksi sampah setiap hari. Dengan catatan, diterapkan secara sungguh-sungguh oleh masyarakat. Untuk itu, ia sangat berharap para aparat tingkat kawasan mulai dari para wali kota hingga tingkat kepala RT/RW memaksimalkan perannya untuk mengajak measyarakat melaksanakan program 3R.
Pelaksanaan program ini juga diharapkan tidak hanya diterapkan di permukiman penduduk, melainkan juga di setiap kawasan yang dikelola oleh swasta. Antara lain, pasar yang dikelola swasta, gedung-gedung perkantoran, dan sekolah. "Dinas adalah petugas teknis, regulator, bukan operator," kata Eko.
Belajar dari pengembangan sistem pengelolahan sampah di banyak negara maju, dinas kebersihan hanya berperan sebagai pengawas, bukan pelaksana. Hampir seluruh kegiatan kebersihan dipegang pihak swasta atau mandiri. Swakelola antara dinas kebersihan dengan warga atau pihak swasta sangat kecil jumlahnya. "Di sana petugas kebersihan hanya 60 orang. Ini yang akan kita tuju. PNS dinas kebersihan adalah regulator, bukan operator," ujarnya lagi.
Saat ini jumlah petugas dinas kebersihan di Jakarta jauh lebih sedikit ketimbang lima tahun lalu. Bahkan, menurut Eko, jumlahnya berkurang hingga 50 persen: dari 3.600 orang, kini tersisa 1.600 orang. Pengurangan ini sejalan dengan program pemerintah Provinsi DKI, yang berencana menswastakan kegiatan kebersihan di kawasan Jakarta. "Kita tidak butuh petugas dalam jumlah besar, termasuk sarana kendaraan pengangkut yang kini hanya tersisa 400 unit dari jumlah tahun sebelumnya sebanyak 600 unit," kata Eko.
Pengurangan unit kendaraan ini, selain untuk mendukung program swastanisasi, juga karena sebagian besar kendaraan sudah tidak layak jalan. Setidaknya, menurut prakiraan Eko, usia kendaraan pengangkut sampah tidak lebih dari 10 tahun. "Karena truk bekerja selama 24 jam, ditambah muatan sampah, maka mempercepat proses pengaratan," ujarnya. Suci Dian Hayati
Post Date : 01 Juli 2011
|