|
Gambaran tentang krisis air yang bakal mengancam kehidupan manusia beberapa tahun mendatang sudah kerap dilontarkan, terutama sejak isu pemanasan global dilontarkan Al Gore dan kawan-kawan. Akan tetapi, sayang, kesadaran itu belum banyak tampak pada para pengembang Indonesia. Menurut pengamatan Kompas, para pengembang menyadari bahwa krisis air bakal menghadang dan menyulitkan manusia. Air yang tumpah dari langit hanya ditampung manusia sekitar sepuluh persen. Selebihnya mengalir ke laut, sungai, danau, hutan (yang sudah menyempit), atau menggenangi kawasan hunian manusia dalam bentuk banjir hebat. Dengan kata lain, ketika musim hujan, air hujan tidak termanfaatkan dengan optimal. Manusia yang daerahnya berkelimpahan air hujan terkesan meremehkan curah hujan itu. Kurang tampak usaha keras menampung air hujan tersebut sebaik-baiknya. Air karunia Tuhan, dibiarkan ke laut atau menggenangi wilayah manusia. Bah terjadi di mana-mana, yang bukan saja menyapu daerah pertanian, tetapi juga membinasakan manusia. Pada musim kemarau, manusia yang tamak menggunakan air, menderita hebat karena kekurangan air. Anehnya, persoalan itu berulang setiap tahun dan manusia tidak juga menyadarinya. Ketika Al Gore, mantan Presiden Amerika Serikat, yang sangat cinta lingkungan itu mengingatkan dunia tentang bahaya pemanasan global, hanya sedikit warga dunia yang menyadari bahaya tersebut. Ilustrasi menarik tentang curah hujan dan buruknya penanganan hujan pernah ditulis wartawan Kompas tahun lalu. "Apa yang terjadi jika hujan lebat berintensitas 100 milimeter mengguyur sekaligus dalam sehari ke atas 10,9 juta hektar lahan kritis di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan? Jawabannya adalah akan ada 7,63 triliun liter air hujan yang langsung menggelontor. Aliran air permukaan tersebut akan menyesaki sungai, meluberi kawasan tampungan air, menjadi banjir, dan akhirnya terbuang ke laut. Bila saja setiap orang hidup sehat dengan meminum dua liter air setiap hari, air limpasan sehari yang sia-sia itu sesungguhnya setara dengan kebutuhan minum seluruh penduduk Indonesia selama 47 tahun. Agar tak mubazir, boleh saja air tersebut kita tampung. Kalaupun dapat, dibutuhkan 476.875 truk tangki untuk menyimpannya. Tren Masalah bahaya banjir, longsor, hutan yang menjadi gurun, areal produktif yang menjadi permukiman, dan sebagainya bukan tidak menakutkan bangsa ini. Para pemuka Indonesia kini menggelorakan gerakan cinta pohon. Ada program tanam sepuluh juta pohon, ada gerakan tanam pohon di sekolah, di kalangan artis, tokoh politik, pengusaha, dan sebagainya. Namun, sejumlah gerakan itu terkesan menjadi semacam gaya, atau sebutlah seperti fesyen. Banyak yang asal cuap-cuap, banyak panggung, tetapi makna sesungguhnya dari penghijauan tidak terasa. Gerakan sepuluh juta pohon, misalnya, terkesan hanya seremonial sebab tidak jelas dari mana bibit sepuluh juta pohon itu bisa diadakan dalam tempo singkat. Lalu, jika pun bibit sebanyak 10 juta itu, masalahnya hendak ditanam di mana? Di kawasan Cikeas kah, Tanah Abang kah, di Bogor kah, di Kalimantan yang hutannya sudah gundul, atau di Jawa dan Sumatera yang sudah penuh manusia? Jalan yang paling bijak untuk masalah ini ialah bersikap proaktif dan bijak. Daripada kita ribut sendiri, jauh lebih baik kalau kita mewujudkan kesadaran pada lingkungan itu mulai dari diri kita sendiri. Bagaimana kita menyikapi persoalan kekeringan, banjir, dan longsor dengan sangat terencana? Akan sangat baik kalau kita dengan kesadaran sendiri menanam pohon, tanpa dibujuk-bujuk atau tidak perlu didesak-desak. Kita pun, juga dengan kesadaran sendiri, jika memungkinkan, menyediakan ruang terbuka bagi resapan air. Para pengembang pun mempunyai tanggung jawab besar untuk menjaga kelestarian lingkungan. Penyediaan ruang terbuka hijau di atas 30 persen sudah tidak bisa ditawar lagi. Lalu di atas lahan itu ditanami pohon, dibuat kawasan resapan/penampungan air, pengolahan limbah buangan cair, pengolahan sampah, dan sebagainya. Ini memang terkesan "membebani", tetapi akan jauh lebih baik manakala pengembang mengambil sikap prolingkungan sebab bersamaan dengan perjalanan waktu, masyarakat atau konsumen rumah makin kritis. Siapa yang tidak prolingkungan, ia akan ditinggalkan konsumennya. Akan tetapi, jangan pula prolingkungan, padahal sebetulnya tidak "ikhlas". Inisiatif menanam pohon atau mengelola air secara bijak dan cerdas mestinya lahir dari diri sendiri berdasarkan kesadaran, bukan karena disuruh dan apalagi kalau berlatar belakang "agar disukai pejabat atau supaya bagus di mata pembeli". Abun Sanda Post Date : 30 November 2007 |