|
[BEKASI] Longsornya timbunan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat yang menewaskan tiga pemulung diduga karena tidak tepatnya pengelolaan oleh PT Patriot Bangkit Bekasi (PBB) selaku pengelola tunggal TPA tersebut. Menurut Kepala Bidang Persampahan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Tribagus L Soni, hal itu terlihat dari kondisi tumpukan sampah yang mengalami longsor. "Kalau pengelolaan di sini dikatakan menggunakan teknologi sanitary landfill, berarti ada yang salah," katanya saat ditemui di lokasi kejadian, Jumat (8/9). Sementara pihak PT PBB ketika dihubungi Pembaruan sejak Jumat (8/9) hingga Sabtu (9/9) pagi tidak ada yang menjawab. Salah satu kesalahan tersebut, ungkap Tribagus L Soni, terlihat dari tingginya sampah yang ditumpuk. Menurut peraturan, ketinggian maksimal gunungan sampah yang diperbolehkan adalah 12-15 meter. Namun, ketinggian sampah di zona tiga tersebut mencapai hampir 20 meter. "Soal ketinggian itu diatur dalam SNI (Standar Nasional Indonesia, Red) tentang pengelolaan TPA. Disebutkan, tinggi maksimum yang diperbolehkan 12-15 meter," jelasnya. Dia mengemukakan, SNI mengenai pengelolaan sampah juga mengatur prosedur membangun, mencari lokasi dan mengelola TPA. "Bukan tidak mungkin pelanggaran terhadap SNI bisa diadukan ke jalur hukum. Apakah itu menjadi tanggung jawab PT PBB, pemerintah daerah atau instansi-instansi pengawas," katanya tanpa menyebut pihak mana yang bersalah dalam peristiwa itu. Untuk menentukan siapa yang salah, lanjut nya, KLH akan segera menurunkan tim yang bertugas mencari sebab terjadinya bencana longsor sampah tersebut. Secara terpisah Kepala Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta Rama Boedi mengatakan, pengelolaan sampah di TPA Bantar Gebang hingga saat ini masih menggunakan teknologi sanitary landfill. Dia membantah dugaan sejumlah pihak yang menyatakan pengelolaan sampah di lokasi tersebut hanya dilakukan secara open dumping (dibuang). "Kalau teknologi yang kita gunakan tetap sanitary landfill. Tapi, jangan berpikir kalau menggunakan teknologi itu, lalu tumpukan sampah itu terlihat seperti kue lapis," katanya. Proses pelapisan sampah menggunakan tanah merah, bisa memakan waktu cukup lama, sehingga lapisan tanah kemudian ber- campur dengan sampah. "Makanya, kita sudah tidak bisa membedakan mana sampah dan mana tanah," tukasnya. Dia mengakui, longsornya sampah di area TPA Bantar Gebang memang terjadi beberapa kali. Namun, peristiwa kali ini termasuk yang cukup besar. Belum lagi, tewasnya tiga pemulung yang ada di sekitar TPA. "Kalau cuma operator yang ada di lokasi, saya yakin peristiwa ini tidak akan terlalu besar," katanya tanpa bermaksud menyalahkan para pemulung yang sudah menjadi korban. Kawasan Terlarang Sebagai tempat pembuangan sampah yang masih aktif (zona aktif), lanjut dia, lokasi tersebut sebenarnya merupakan kawasan terlarang (restrictied area). Namun, hal tersebut tidak dapat dipertahankan karena sejumlah pagar dirobohkan. Setelah peristiwa itu, ungkapnya, pemerintah provinsi (Pemprov) DKI Jakarta memutuskan akan melakukan beberapa hal guna pembenahan pengelolaan TPA Bantar Gebang. Pertama, Pemprov DKI akan mengkaji ulang cara pembuatan kemiringan dan undakan. Diduga, salah satu penyebab longsornya tersebut terjadi karena undakan yang ada sedikit. Kedua, Pemprov DKI akan memagar ulang seluruh lokasi pembuangan sampah yang ada di TPA Bantar Gebang. Dia mengakui, hal itu mungkin akan menghadapi tantangan dari para pemulung. Namun, menurut dia, tidak ada cara lain untuk mengatur para pemulung di sana yang sudah berjumlah sekitar 4.000 orang. [P-11] Post Date : 09 September 2006 |