Pengelolaan Sanitasi Berbasis Masyarakat di Dusun Boro Utara, Curungrejo

Sumber:Jawa Pos - 11 Mei 2009
Kategori:Sanitasi

Dusun Boro Utara, Curungrejo, Kepanjen, terletak di bagian paling utara Kota Kepanjen. Berbatasan langsung dengan Kecamatan Pakisaji. Mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani dan kuli bangunan. Sebagian besar masyarakatnya masih memanfaatkan Sungai Brantas yang melintas di kawasan tersebut untuk melakukan aktivitas keseharian berupa mandi, cuci, kakus (MCK). Tak jarang beberapa sumber air yang berada di pinggir Sungai Brantas digunakan memasak.

Pemanfaatan sungai tersebut tidak lepas sulitnya air bersih. Sebab, untuk mendapatkan air bersih, masyarakat harus menggali sumur hingga kedalaman 36 meter. Itu pun kalau beruntung. Kalau tidak, masyarakat memanfaatkan lubang yang tidak mengeluarkan air itu sebagai WC.

WC itu hanya diberi penutup anyaman bambu dan diberi lubang pada tengahnya untuk membuang kotoran. Keberadaan jamban tersebut tidak disadari masyarakat menimbulkan berbagai penyakit. Di antaranya, diare yang pernah menyerang hampir sebagain warga sekitar pada 1970-an.

Selain WC, tempat pembuangan limbah cair dari rumah tangga juga banyak dijumpai di kawasan tersebut. Akibatnya, lingkungan di kawasan tersebut banyak yang rusak. Bahan, jika musim hujan tiba, kotoran itu menimbulkan bau yang kurang sedap.

Kondisi lingkungan yang kurang sehat tersebut membuat Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) Best melakukan penelitian, tepatnya pada 2004 lalu. Mereka meneliti air dan kandungan tanah yang ada kawasan bibir Sungai Brantas.

Secara kebetulan, saat melakukan penelitian pihak LSM Best bertemu dengan Sunaryo, warga sekitar.

Saat itulah Sunaryo mulai mengutarakan permasalahan kebutuhan air bersih masyarakat sekitar. Permasalahan tersebut langsung mendapat respons positif. "Mereka mengatakan air di tempat tersebut terdapat kandungan zat besi yang sangat besar dan tidak layak dikonsumsi," kata Sunaryo, saat ditemui di rumahnya kemarin.

Setelah pertemuan kali pertamanya dengan pihak LSM Best, Sunaryo mengaku tidak pernah diajak komunikasi lagi. Hingga pada 2006 Pemkab Malang bersama pihak ESP dan USAID turun ke lapangan untuk melakukan survei. Mereka berencana membuat sanitasi berbasis masyarakat.

Sebab, dari hasil penelitian, masyarakat membutuhkan tempat untuk membuang limbah cair rumah tangga dengan benar. Selain itu, pola hidup memanfaatkan sungai sebagai MCK juga akan berdampak kurang baik terhadap kesehatan masyarakat.

Berawal dari masalah itu, ESP, USAID, dan Pemkab Malang menggandeng kelompok swadaya masyarakat Agung Jaya untuk membangun sanitasi berbasis masyarakat. Sunaryo yang menjadi ketua kelompok swadaya masyarakat Agung Jaya diminta membentuk tim pembangunan. Selain itu, Sunaryo diminta mencarikan lokasi yang tepat untuk membangun sanitasi, yakni di pinggir sungai desa setempat. "Tim terbentuk dan kami mendapat bantuan Rp 400 juta," ungkap pria yang sudah dikaruniai enam anak ini.

Anggaran tersebut sharing dari USAID sebesar Rp 200 juta dan Pemkab Malang Rp 200 juta. Anggaran itu digunakan membangun instalasi sanitasi. Lengkap dengan pipa yang menghubungkan setiap rumah hingga menuju ke bak penampungan limbah dan pembangunan toilet jongkok di setiap rumah. Selain pemasangan pipa, 100 lebih bak kontrol juga dibangun di setiap 12 meter pipa yang dipasang. Tujuannya untuk memantau jika ada penyumbatan di dalam pipa.

Sedangkan lokasi yang digunakan untuk penampungan limbah cair milik Sunaryo. Lahan seluas 2,5 meter x 54 meter yang berada di pinggir Sungai Brantas tersebut dihibahkan untuk pembangunan bak penampungan.

Selain pembangunan instalasi sanitasi, Sunaryo juga membangun pipanisasi air bersih dari PDAM. Mengingat masalah utama di kawasan tersebut adalah air bersih. Karena itu, sisa uang yang digunakan membangun sanitasi digunakan membangun instalasi pipa air bersih yang dihubungkan ke PDAM Kabupaten Malang.

Setelah semuanya selesai dikerjakan, bukan berarti masalah sudah selesai. Sebab, masalah yang lebih besar sudah menunggu, yakni mengubah perilaku masyarakat untuk hidup sehat. Salah satunya meninggalkan sungai sebagai MCK. Pasalnya, masyarakat masih banyak yang memanfaatkan Sungai Brantas sebagai MCK.

Menurut Sunaryo, perilaku masyarakat ke sungai itu sudah tradisi. Kalau tidak melakukan aktivitas MCK di sungai, terasa kurang lega. "Mereka tidak terbiasa jongkok. Karena kalau tidak dikom (direndam) air sungai tidak bisa keluar," kata Sunaryo.

Namun, sampai saat ini tinggal beberapa orang saja yang melakukan aktivitas MCK di sungai. Mereka sudah mulai banyak yang sadar akan pentingnya kesehatan lingkungan. Karena itu, masyarakat juga banyak yang mengurangi aktivitasnya di sungai. (BAMBANG TRI W)



Post Date : 11 Mei 2009