|
HARI Selasa, 15 Juni 2004 lalu, dilakukan penandatanganan Kesepakatan Bersama Kerja Sama Pengelolaan Sampah di Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) di Ruang Pendapa Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Jalan Pattimura, Jakarta. Acara itu melibatkan empat Pemda Kota - Bekasi, Bogor, Tangerang dan Depok, dua Pemda Kabupaten - Bogor dan Tangerang, dan satu Pemda Provinsi DKI Jakarta. Melalui penandatanganan itu, secara ringkas ketujuh pemda kota-kabupaten-provinsi bersepakat dua hal. Pertama, bekerja sama di bidang pengelolaan sampah guna meningkatkan kualitas lingkungan hidup di wilayah tersebut. Ini penting untuk digarisbawahi mengingat permasalahan sampah merupakan salah satu penyebab dominan bagi permasalahan lingkungan. Kedua, menindaklanjuti kesepakatan tersebut melalui pendirian sekretariat bersama (sekber) yang tujuan utamanya mendirikan Jabodetabek Waste Management Corporation (JWMC). Unit kerja sama usaha itu nantinya akan mendapat mandat untuk mengelola sebagian kegiatan persampahan di wilayah tersebut. Terlepas dari ada tidaknya muatan lain, momen penandatanganan kerja sama tersebut setidaknya memiliki tiga makna strategis bagi pengelolaan sampah wilayah Jabodetabek. Pertama, penandatanganan itu menandai dimulainya era baru kerja sama melalui pendekatan kewilayahan atau regional di bidang persampahan, mengingat pengelolaan sampah pada dasarnya tidak mengenal batas administratif pemerintahan, bahkan sektor ataupun departemen. Secara sederhana dapat dilukiskan seperti berikut. Orang Depok, Bogor, Bekasi atau Tangerang, yang notabene memiliki lahan yang relatif lebih luas dibanding Jakarta, nyampah siang hari di Jakarta selama jam kerja, sementara sebaliknya orang Jakarta yang memproduksi hampir setengah dari sampah Jabodetabek tidak lagi memiliki lahan yang cukup untuk membangun tempat penampungan akhir (TPA) sampah. Tanpa adanya kerja sama di antara kota-kabupaten-provinsi yang sebenarnya saling tergantung dan mempengaruhi tersebut, permasalahan sampah akan menjadi makin kompleks dengan makin bertambahnya jumlah penduduk dan tingkat produksi sampah. Kedua, kesepakatan bersama tersebut merupakan salah satu exit-strategy jangka panjang dari pengelolaan sampah yang kurang efisien dan tidak efektif selama ini. Khususnya biaya investasi pembangunan stasiun peralihan antara (SPA) dan TPA serta operasionalnya akan menjadi lebih terjangkau dan ekonomis bila ditanggung bersama, di mana hal ini pada gilirannya akan berdampak positif pada peningkatan efisiensi dan keefektifan operasi serta kualitas. Ketiga, komitmen itu menjadi langkah awal yang strategis menuju diterapkannya pengelolaan sampah berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Dalam sejarah pengelolaan sampah di dunia, pengelolaan sampah yang berkesinambungan dan berwawasan lingkungan terbukti berjalan melalui pendekatan service-profit-oriented dan 'terintegrasi'. Ambil contoh profesionalisme yang menjadi syarat berjalannya kedua pendekatan di atas, di antaranya melalui swastanisasi, di mana pemerintah baik pusat maupun daerah hanya berfungsi sebagai regulator, sedangkan pengelolanya diserahkan ke swasta melalui mekanisme tender yang transparan. Harus Regional Masalah sampah sebenarnya tidak melulu terkait dengan TPA, seperti yang terjadi selama ini karena sistem manajemen sampah merupakan sistem yang terkait dengan dengan banyak pihak; mulai dari penghasil sampah (seperti rumah tangga, pasar, institusi, industri, dan lain-lain), pengelola (dan kontraktor), pembuat peraturan, sektor informal, maupun masyarakat yang terkena dampak pengelolaan sampah tersebut sehingga penyelesaiannya pun membutuhkan keterlibatan semua pihak terkait dan beragam pendekatan. Demikian pula terkait dengan banyak aspek, mulai dari aspek politik, sosial ekonomi dan budaya, maupun lingkungan. Harus diakui bahwa dengan segala keterbatasan yang ada pendekatan yang diadopsi masih terbatas pada pendekatan konvensional, di mana sampah disingkirkan secepat dan sejauh mungkin dari sumbernya di kota tanpa melihat bahwa sampah sebenarnya adalah sumberdaya dan bahan baku karena masih mengandung materi dan energi. Berdasarkan pengalaman, tidak ada negara di dunia yang sukses mengelola sampahnya tanpa pendekatan regional, walaupun telah memiliki sistem manajemen modern yang baku. Berdasarkan konsep JWMC, dari sudut geografis wilayah Jabodetabek setidaknya dapat dikelompokkan dalam tiga zona pengembangan pengelolaan sampah padat, di mana Zona I diusulkan meliputi DKI Jakarta bagian timur dan utara, Kota dan Kabupaten Bekasi, Zona II untuk Jabotabek bagian barat, yang mencakup DKI Jakarta bagian barat dan utara, Kota an Kabupaten Tangerang; dan Zona III meliputi DKI Jakarta bagian selatan, Kota Depok, Kota, dan Kabupaten Bogor. Dengan zonasi seperti ini, ambil contoh pembangunan TPA dengan sistem sanitary landfill yang merupakan sistem pembuangan akhir sampah sanitair, paling murah dan terjangkau bagi negara berkembang, dapat dibangun di tiga zona itu untuk digunakan bersama, dengan risiko dan beban biaya yang ditanggung bersama. Berdasarkan kondisi eksisting manajemen sampah dan masalahnya di wilayah Jabodetabek, menjadi jelas bahwa selain pendekatan regional, tidak ada pilihan lain yang lebih baik selain mengembangkan dan menerapkan paradigma manajemen sampah yang baru, yang sesuai dengan konteks Jabodetabek, dan memiliki potensi menjadi basis manajemen modern di kemudian hari. Di antara berbagai alternatif, Manajemen Sampah Padat Perkotaan Terintegrasi dan Berkelanjutan, yaitu sistem manajemen yang mengintegrasikan aspek perencanaan pengelolaan sampah dengan pembangunan perkotaan lainnya, mempertimbangkan semua aspek berpengaruh, serta memberi peluang bagi semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Pendekatan terintegrasi harus mempertimbangkan semua aspek terkait, seperti aspek ekonomi, lingkungan, sosial dan institusi, politik, keuangan dan aspek teknis secara simultan. Wilayah cakupan konsep ini meliputi tiga bidang. Pertama, perencanaan dan manajemen - perencanaan strategis, kerangka peraturan dan kebijakan, partisipasi masyarakat, menajemen keuangan, pengembangan kapasitas institusi, serta penelitian dan pengembangan. Kedua, produksi - karakteristik sampah berdasarkan sumbernya, komposisi, tingkat produksi, minimasi sampah. Ketiga, penanganan sampah - pewadahan, pengumpulan, transfer, penanganan sampah khusus, serta penanganan pemulung. Sedangkan pemain dan partner dalam pengelolaan sampah, mulai dari pengguna jasa (rumah tangga, pasar, industri, organisasi), penyedia layanan kebersihan (RT/RW, pemerintah, perusahaan swasta), pendaur ulang (pemulung, pemilik lapak dan pabrik pengguna bahan daur ulang), dan produsen dan pengguna pupuk kompos, membuat masalah sampah bukan hanya menjadi urusan Dinas Kebersihan atau instansi lainnya di daerah, tapi menjadi urusan dan kepentingan semua pihak. Secara khusus, kehadiran pemulung dalam kota dan di lokasi TPA memiliki peran tersendiri, di mana pemulung dan lapak yang dapat merepresentasikan sektor informal dalam manajemen sampah yang memainkan peranan siknifikan dalam kesusksesan 'program daur ulang informal' di wilayah Jabodetabek. Konsep terintegrasi dapat terjadi pada beberapa tingkatan yang berbeda dalam manajemen sampah - tidak hanya pada penggunaan TPA bersama. Antara lain penggunaan berbagai pilihan sistem pengumpulan dan penanganan sampah, akibat beragamnya tingkat pendapatan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Kemudian keeterlibatan dan partisipasi seluruh pemangku kepentingan dalam berbagai proses pengelolaan, mulai dari penentuan tarif sampah, pemilihan lokasi TPA, hingga penentuan sistem recycling dan composting. Selain itu, interaksi antara sistem persampahan dengan sistem lain yang relevan, seperti penanganan sampah pasar, industri, institusi, bahkan hingga tanggung jawab produsen untuk menangani kemasan yang digunakan dalam memasarkan produknya. Haskarlianus Pasang, Penulis adalah Kandidat Doktor pada University of Melbourne Australia Post Date : 17 Juli 2004 |