|
Hari-hari ini makin banyak pemerintah kota/kabupaten maupun provinsi kesulitan mencari tempat pembuangan akhir sampah. Banyak kepala daerah dan staf ahlinya memutar otak untuk menciptakan sistem pengelolaan dan pengolahan sampah secara efektif dan efisien. Wali Kota Depok Nur Mahmudi Ismail, misalnya, mencetuskan idenya yang ia sebut Sipesat atau Sistem Pengolahan dan Pengelolaan Sampah Terpadu. Ia menyebut gagasannya paling ideal. Gagasan itu kini tengah diterapkan di Depok. Tentu saja tidak satu-satunya cara yang boleh ditengok. Untuk meringankan beban tempat pembuangan akhir (TPA) sampah, ada baiknya kita juga melihat sistem pengelolaan sampah oleh warga Perumahan Mustika Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, yang bekerja sama dengan Bina Ekonomi Sosial Terpadu (BEST), sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Tangerang. Memang tak banyak orang tahu bahwa perumahan kalangan menengah ke bawah di Tigaraksa itu sejak tiga tahun terakhir memiliki sistem pengelolaan sampah yang agak berbeda dibandingkan dengan di wilayah lain. Mereka memakai sistem 3R (reduce, reuse, recyclable) untuk mengelola sampah. Sistem 3R Sistem 3R adalah sistem yang dilakukan dengan cara memisahkan sampah yang masih bisa didaur ulang, sampah dari tanaman untuk dijadikan pupuk kompos, dan sampah yang tak bisa lagi dimanfaatkan sehingga harus masuk ke TPA. Dengan cara itu, jumlah sampah yang dibuang ke TPA tinggal 35 persen sehingga meringankan beban TPA sekaligus memperpanjang masa pemakaiannya. "Dan yang juga tak kalah penting, biaya angkut sampah dari tempat pembuangan sementara ke TPA juga berkurang," kata Direktur BEST Hamzah Harun Al Rasyid beberapa waktu lalu di Tangerang. Pada sisi lain, sampah yang masih bisa dijual dapat menjadi penghasilan tambahan bagi petugas pengumpul sampah, lindi (air yang keluar dari timbunan sampah) bisa menjadi biogas, sedangkan kompos digunakan untuk pupuk. Semula, seperti terjadi di tempat lain, sebanyak 1.687 keluarga warga Perumahan Mustika sempat tersiksa oleh urusan sampah di lingkungan mereka sendiri. "Petugasnya sering telat mengambil sampah dari rumah-rumah. Sampah jadi berceceran di mana-mana. Baunya busuk dan mulai banyak belatung," tutur Ny Eni, warga perumahan itu menceritakan keadaan sebelum ada pengelolaan sampah secara terpadu. Keadaan ini sering terjadi sehingga mengganggu kehidupan warga perumahan tersebut. Awal tahun 2003, seorang warga Perumahan Mustika melihat sepeda motor pengangkut sampah milik LSM BEST melintasi sebuah jalan di Kota Tangerang. Warga itu mencatat nomor telepon pada bak sampah tersebut lalu menghubunginya. Itulah awal mulanya warga perumahan mengenal LSM BEST. "Semula mereka hanya tertarik untuk membeli motor yang dimodifikasi khusus menjadi pengangkut sampah itu, tapi kami menawarkan untuk bekerja sama mengelola sampahnya sekalian. Mereka setuju," kata Hamzah. Akan tetapi, rencana kerja sama sempat tak berjalan mulus karena warga hanya bersedia membayar iuran sampah sebesar Rp 1.000 per bulan, seperti pada masa pengelolaan sebelumnya. Padahal, untuk membiayai sistem pengelolaan sampah terpadu, BEST menemukan angka uang iuran mencapai Rp 4.000 per bulan per rumah. Bagi sebagian besar warga perumahan yang berprofesi sebagai buruh pabrik, uang iuran itu dianggap mahal. Warga sepakat Pada akhirnya, sebagian warga sepakat bekerja sama dengan meminta bantuan pihak developer agar menyediakan lahan seluas 1.000 meter untuk menjadi tempat pembuangan sementara (TPS) sekaligus tempat pemilahan jenis sampah dan pembuatan kompos. Warga dan BEST mempekerjakan enam orang untuk mengambil sampah dari rumah warga, memilahnya dan memproses sampah menjadi kompos atau disiapkan untuk diangkut truk Pemerintah Kabupaten Tangerang guna dibuang ke TPA. Para pekerja mendapat gaji tetap Rp 675.000 per bulan dengan tambahan uang hasil penjualan sampah yang dijual dan rata-rata mencapai Rp 500.000 per bulan. Sebanyak tiga motor menjadi modal kerja. Dengan motor itulah mereka bertugas mengambil sampah dua hari sekali ke tiap rumah penghuni perumahan. Begitu sampah terkumpul, para pekerja segera memilah-milah sampah. Untuk sampah yang bisa diolah menjadi kompos, pekerja mencetaknya dalam bentuk kotak lalu disiram dengan cairan E4 untuk menghilangkan bakteri. Dalam tempo sebulan tumpukan sampah itu akan mengering dan berguguran dari tempatnya. Guguran sampah itu yang disebut kompos. Menurut Yudi, salah satu pekerja di TPS tersebut, dengan cara pengolahan itu, biaya untuk membawa sampah ke TPA bisa ditekan. "Sekarang sampah yang diangkut ke TPA tak sampai separuhnya," katanya. Dalam hitungan BEST, sistem pengelolaan sampah terpadu ini mampu menekan jumlah sampah yang dibawa ke TPA hingga 65 persen. Jika sebelumnya sampah warga Perumahan Mustika harus diangkut oleh 39 truk, kini hanya diperlukan 14 truk. Hamzah mengakui masih perlu memperbaiki sistem, misalnya, bagaimana caranya agar warga di dekat TPS tak terganggu oleh bau sampah. "Mereka keberatan ada TPS di sini. Ini perlu jalan keluar," katanya. Soal lain berkaitan dengan kemampuan warga membayar iuran sampah. Sampai kini baru 80 persen warga yang mau membayar iuran sebesar Rp 4.000 per bulan walau sudah mampu menutup biaya operasional. Kompos juga belum populer di tengah masyarakat sehingga kompos yang diproduksi tak terserap oleh pasar. Memang sistem ini belum sempurna, tetapi setidaknya bisa meringankan beban TPA-TPA sehingga umurnya lebih panjang. Beberapa daerah, juga Departemen Pekerjaan Umum, akan mengadopsi sistem pengelolaan sampah terpadu ini untuk diterapkan di tempat lain. Soelastri Soekirno Post Date : 19 Juni 2006 |