|
Jakarta, Kompas - Pengelolaan sampah di berbagai daerah di Tanah Air masih belum optimal. Ini lantaran rendahnya tingkat kesadaran dan pengetahuan jajaran birokrasi dan kalangan pelaku usaha dalam mengelola sampah. Untuk itu, perlu segera disusun payung hukum nasional yang mengatur persampahan lintas daerah. Demikian benang merah dialog nasional dengan tema "Mencari Solusi Pengelolaan Sampah di Indonesia" di Jakarta, Sabtu (4/6). Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, dalam sambutannya, memaparkan pengelolaan sampah perlu ada pendekatan secara menyeluruh. Salah satunya, dengan menyusun payung hukum, yakni undang-undang yang mengatur persampahan. Jika aspek perundang-undangan yang menjadi payung hukum ini ditunda pembahasannya, penyelesaian persoalan sampah dikhawatirkan kembali ditangani dengan pendekatan parsial dan reaktif. Pembenahan institusi, terutama di tingkat lokal dan regional, harus segera dilakukan. Pemerintah daerah di tingkat kota dan kabupaten, lanjut Rachmat, seringkali memikul beban yang tumpang tindih, baik sebagai pelaksana, perencana, dan pengawas. Oleh karena itu, perlu ada upaya revitalisasi dan reposisi kelembagaan di daerah. Di tingkat regional, seperti di kawasan megapolitan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) dan Bandung, perlu ada kebijakan nasional yang memayungi kepentingan lintas kabupaten/kota maupun lintas provinsi dalam konteks kerja sama di bidang pengelolaan sampah. "Ini bukan hanya dalam penanganan konflik, tapi juga pembiayaan investasi dan operasional seperti pembangunan tempat pembuangan sampah regional," ujar Rachmat. Perlu badan permanen Direktur Pusat Industri Daur Ulang Sampah dan Zero Waste Indonesia, Bagong Suyoto, menambahkan bahwa pengelolaan sampah kota perlu suatu institusi atau badan yang memiliki otoritas permanen dan penuh secara nasional dan bertanggung jawab pada Presiden. "Pihak-pihak yang menjalankan program daur ulang hendaknya mendapat dukungan keuangan, kemudahan memperoleh kredit, dan akses pasar," ungkapnya. Bagong Suyoto menilai, kelemahan mendasar dari perencanaan pengelolaan sampah yang terjadi di kota-kota besar adalah pemahaman terhadap pengelolaan sampah yang masih setengah-setengah, dipahami sebatas proyek, dan dijadikan komoditas politik. "Pengelolaan sampah bukan semata-mata mengandalkan teknologi canggih, tetapi juga harus melihat kondisi lingkungan alam, sosial dan budaya," ujar Bagong. Pelibatan masyarakat dan pihak yang berkepentingan lainnya bukan hanya pada tahap perencanaan, melainkan juga dalam implementasi dan evaluasi agar keberadaan tempat pembuangan sampah akhir diterima oleh warga sekitarnya. Ketiadaan payung hukum secara nasional juga memicu penyelesaian konflik kepentingan pengelolaan sampah antara dua daerah atau lebih secara se- rampangan atau meminta petunjuk pada instansi di atasnya. "Tidak adanya payung hukum membuat hampir tiap orang membuang sampah sembarangan karena tidak ada sanksi tegas," kata Bagong menambahkan. Sementara itu, Sarwono Kusumaatmadja-anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) DKI Jakarta-menyatakan, di era otonomi daerah pengelolaan sampah juga harus melibatkan pemerintah daerah. Untuk mempercepat penerbitan payung hukum penanganan sampah, pihaknya siap membentuk tim kerja yang terdiri atas para anggota DPD di berbagai daerah di Tanah Air. (EVY) Post Date : 06 Juni 2005 |