Pengelolaan Sampah Belum Benar

Sumber:Suara Merdeka - 12 Mei 2008
Kategori:Sampah Luar Jakarta

SEMARANG- Pemkot dinilai gagal dalam mengelola sampah dengan baik. Sebab, masih berorientasi pada tahapan mengurangi tumpukan sampah dengan hanya memindahkan sampah ke tempat pembuangan sampah (TPS) hingga tempat pembuangan akhir (TPA) di Jatibarang.

”Pengelolaan sampah di TPA secara tertulis memakai sistem sanitary landfill. Namun kenyataannya, dengan dalih keterbatasan sumber daya manusia (SDM) dan besarnya volume sampah tiap harinya, membuat sistem sepenuhnya tak bisa dilakukan,” kata Hotmauli Sidabalok, staf pengajar Program Magister Lingkungan Perkotaan Unika Soegijapranata, baru-baru ini.

Ia mengemukakan hal itu dalam diskusi ”Ketidakadilan Lingkungan dan Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat”, di Gedung Thomas Aquinas PTS itu. Pembicara lain, Abdul Rofiq dari LSM Bintari (Bina Karta Lestari).

Menurut Hotmauli, area pelayanan pengelolaan sampah di Semarang dibagi tiga wilayah kerja yaitu Semarang Timur, Barat dan Selatan. Untuk menampung sampah dari seluruh Semarang, hanya ada 220 TPS. Jika dibandingkan jumlah penduduk, tiap harinya TPS menampung 4.232 kilogram sampah.

”Terbatasnya SDM dan TPS membuat proses pengambilan sampah dari TPS ke TPA tak maksimal. Bahkan sering hanya sekali dalam sehari. Hal itu memunculkan persoalan lingkungan seperti bau, lalat, keadaan kotor, dan air lindi dari sampah organik,” katanya.

Sampah Organik

Apalagi ditambah tak adanya sistem pemisahan sampah organik dan anorganik, karena masih sedikit masyarakat serta pemulung yang melakukannya. Padahal, hampir 80% komposisi sampah di Semarang adalah sampah organik. Data tahun 2000 menyebutkan, 75,71 % atau 2.650 m3 sampah berasal dari rumah tangga.

”Keberadaan TPS belum efektif. Harusnya, TPS itu bukan tempat pembuangan sampah tapi tempat pengelolaan sampah. Dimana sampah sudah dipilah antara organik dan anorganik. Sayangnya, selama ini masyarakat belum sadar akan pengelolaan sampah yang mencakup 3R, yaitu reduce, reuse dan recycling,” tutur dia.

Abdul Rofiq menyatakan, jika manajemen yang diterapkan Dinas Kebersihan mendekati 3R maka anggaran yang ada pastilah mencukupi. Namun selama ini dinas lebih suka melakukan pengadaan barang.

Pada tahun 2007, lanjut dia, pengelolaan sampah berbasis masyarakat sudah dilakukan di wilayah Bulu Lor dan Bukit Kencana Jaya, dengan membuat TPS Terpadu. Dimana pengelolaan sampah dimulai dari tiap rumah tangga dengan memisahkan antara sampah organik, anorganik, dan residu. Pengangkutan juga disesuaikan jenis hingga di TPS juga dibedakan tempat antara organik dan anorganik. ”Masalah sampah sebenarnya sangat dekat dengan ibu-ibu. Sehingga lebih baik bila memberdayakan para ibu untuk mengelola sampah yang ramah,” katanya.

Sampah elektronik seperti CPU, handphone, lampu dan piranti lunak komputer, beberapa tahun belakangan menyumbang 20%-30% sampah. Namun Pemkot belum ada solusi untuk mengatasi sampah elektronik. ”Butuh biaya mahal untuk mengolahnya. Karena harus memakai alat khusus yang cukup mahal,” imbuh Rofiq. (J8-56)



Post Date : 12 Mei 2008