Jakarta, Kompas - Pengelolaan air minum yang bersifat sektoral menyebabkan cakupan penyediaan air minum masih sangat rendah. Masyarakat, selain harus membayar mahal, juga harus menerima buruknya kualitas air minum yang ada sehingga kasus diare tetap tinggi.
Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Budi Haryanto dalam diskusi ”Waspadai Ancaman Dibalik Air Minum Anda” di Jakarta, Kamis (2/9), mengatakan, cakupan pelayanan air minum Indonesia, menurut data Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID), hanya 24 persen pada 2008. Layanan tersebut tersebar di 45 persen wilayah perkotaan dan 10 persen wilayah pedesaan. Angka itu masih jauh dari target Sasaran Pembangunan Millenium (MDGs) untuk pelayanan air minum yang mencapai 80 persen dari seluruh rakyat Indonesia.
Berdasarkan data Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular, Kementerian Kesehatan, pada 2008, sebanyak 100 persen sampel air bersih di DKI Jakarta terkontaminasi bakteri coliform. Selain itu, 5-57 persen sampel air minum di Jakarta juga terkontaminasi bakteri coliform dan coli tinja. Sedangkan 0-50 persen sampel air bersih yang ada mengandung senyawa kimia.
Menurut Budi, rendahnya cakupan pelayanan air bersih dan buruknya kualitas air disebabkan oleh tumpang tindihnya pengelolaan air bersih. Lembaga yang mengelola air bersih, antara lain, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Lingkungan Hidup beserta jajaran mereka di daerah dalam bentuk dinas dan badan di daerah.
Diare telah menjadi penyakit penyebab kematian nomor dua pada anak balita, nomor tiga pada bayi, dan nomor lima pada seluruh kelompok umur.
Ahli mikrobiologi pangan dari Institut Pertanian Bogor, Ratih Dewanti Hariyadi, mengatakan, masih tercemarnya air minum dengan mikroorganisme penyebab penyakit disebabkan lemahnya pengawasan dalam proses pengolahan air minum. (MZW)
Post Date : 03 September 2010
|