|
Jakarta, Kompas - Partisipasi publik yang nyata dalam pengelolaan sumber daya air perkotaan maupun pedesaan diperlukan untuk efisiensi maupun akuntabilitasnya. Tanpa itu, kebijakan pengelolaan sumber daya air tetap jauh dari kebutuhan masyarakat. Faktanya, justru partisipasi semu yang kini melanda dunia pengelolaan sumber daya air. Dari tiga ratus lebih PDAM, tidak ditemukan bentuk partisipasi nyata masyarakat yang dapat turut menentukan kebijakan pengelolaan air. Partisipasi yang ada selama ini hanya simbol. Hanya mobilisasi sumber daya masyarakat, kata Dr Ir Budi S Wignyosukarto staf pengajar Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Ia jadi pembicara dalam Dialog Publik Kelembagaan Bagi Partisipasi Publik dalam Pengelolaan Air yang diadakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) di Jakarta, Senin (22/8). Pembicara lain, pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang Wijanto Hadiputro SE MT, peneliti pada Badan Penelitian Pengembangan (Balitbang) Departemen Pertanian Dr Effendi Pasandaran, dan Nur Hidayat dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Partisipasi simbolis tanpa niat yang serius dinilai juga muncul dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, yang uji materiilnya dimenangkan Mahkamah Konstitusi, bulan lalu. Bila pemerintah benar-benar serius mengadakan partisipasi publik, semestinya proses dan bentuknya dirinci jelas dalam UU atau ketentuan turunannya. Nyatanya, masyarakat hanya dijamin dapat memperoleh informasi tetapi tidak turut menentukan kebijakan, kata Wijanto. Bentuk partisipasi Menurut Budi, selain hak informasi, partisipasi masyarakat dapat berupa memberi masukan, kritik, komplain, dan pengawasan kebijakan. Partisipasi dalam hal ini berarti melibatkan masyarakat dalam perumusan dan penetapan kebijakan publik. Mekanisme Dewan Sumber Daya Air yang akan dibentuk seperti ketentuan UU No 7/2004 nantinya hanya berupa partisipasi tidak aktif sehingga masukan bisa saja tidak diaplikasikan. Radja P Siregar dari Walhi, yang aktif berkampanye mengenai bahaya privatisasi air menyatakan bahwa partisipasi masyarakat yang terlembagakan diharapkan turut mempengaruhi rencana kebijakan dan bukan sekadar simbol. Tanpa partisipasi publik, penyediaan air yang buruklah yang akan terjadi. Kelembagaan tanpa akuntabilitas publik hanya akan menimbulkan inefisiensi dalam banyak hal, kata dia. Radja menyebut pengelolaan air di Porto Alegre, Brasil, sebagai salah satu contoh keterlibatan masyarakat yang ideal. Masyarakat terlibat langsung dalam manajemen pengelolaan air perkotaan, termasuk turut menentukan tarif dan prioritas investasi. Secara khusus, YLKI mencatat bahwa pelayanan yang diberikan PDAM selama ini belum memenuhi kebutuhan masyarakat. Kasus di Jakarta yang telah diprivatisasi pun sama. Hal ini menunjukkan privatisasi gagal menyediakan air yang dibutuhkan masyarakat. Bahkan perusahaan terus merugi, kata Nur Hidayat. Namun, justru privatisasilah yang terus didorong pemerintah untuk dikembangkan dan bukan partisipasi nyata masyarakat dalam pengelolaan air. Effendi dari Litbang Departemen Pertanian meminta pengelolaan air juga memperhatikan suara dari kelompok masyarakat pengelola air irigasi agar terbentuk kebijakan yang jelas mengenai alokasi air untuk air minum dan irigasi. (GSA) Post Date : 23 Agustus 2005 |