|
BEBERAPA waktu lalu, media massa sempat diramaikan pemberitaan longsornya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah, Kota Cimahi. Akibat bencana itu, selain merenggut nyawa penduduk setempat, sejumlah kepala keluarga juga kehilangan tempat tinggal. Tak hanya itu, Kota Bandung sebagai pembuang sampah terbanyak ke lokasi TPA bersistem open dumping itu pun berminggu-minggu diwarnai gunungan sampah. Jumlahnya tak tanggung-tanggung, mencapai 112.000 m3 alias dua kali volume Candi Borobudur yang cuma 55.000 m3. Wah.... Sebagian dari kita, mungkin masih beranggapan, setelah membuang sampah yang akan diangkut truk PD Kebersihan, lalu membayar retribusi berbarengan dengan membayar listrik, maka persoalan persamapahan pun selesai, tapi nyatanya tidak sesederhana itu. Pernahkah kita membayangkan, berapa banyak jumlah sampah yang terkumpul dari 2 juta warga Bandung? Jika seorang minimal membuang satu kantong kresek saja, akan ada dua juta kantong kresek. Jika satu kantong kresek itu berukuran tinggi 10 cm, maka akan terdapat gunungan sampah setinggi 200.000 meter atau 200 kilometer! Itu melebihi jarak pulang pergi Bandung-Garut ! Belum lagi jika kita hitung dalam takaran meter kubik. Saat ini, volume sampah yang dihasilkan Kota Bandung sebanyak 7.500 m3, dengan kemampuan daya angkut PD Kebersihan ngan saukur 3.000 m3. Itu berarti masih ada 4.500 m3 sampah berserakan di tempat pembuangan sementara (TPS) setiap harinya. Keterbatasan pengangkutan itu, karena kurangnya truk pengangkut sampah. Menurut Kabag Hukum dan Humas PD Kebersihan, Sefrianus Yosef, sekarang hanya ada 77 truk pengangkut sampah. Sebagian di antaranya bahkan sudah berusia lanjut, sehingga sering kali mogok atau terpaksa diparkir di garasi. Keterbatasan jualah, yang membuat setiap truk kuning tersebut harus mengangkut sampah empat rit setiap harinya. Padahal, idealnya dengan volume sampah sebesar itu, Kota Bandung memiliki 140 truk. Problem itu, ditambah lagi dengan anggaran PD Kebersihan yang katanya terbatas. Sementara retribusi dari masyarakat, yang dikutip melalui pembayaran listrik, hanya terserap 57%. PASCA longsor TPA Leuwigajah, Pemkot Bandung kembali menggunakan TPA Jelekong di Kec. Baleendah, Kab. Bandung. Padahal, daya tampung TPA Jelekong diperkirakan hanya akan cukup sampai akhir tahun ini. Jika lahan yang masih ada dari keseluruhan luas lahan 10 hektare dipapas pun, hanya tersisa untuk sekira dua sampai tiga tahun ke depan. Oleh karena itu, sudah saatnya Kota Bandung mempunyai lokasi TPA alternatif. Saat ini, Pemkot Bandung tengah mengupayakan perolehan lahan 10 hektare di Citatah Kab. Bandung. Namun, soal perizinannya memang tidak mudah. Pascalongsor TPA Leuwigajah, tampaknya semua pihak memang lebih berhati-hati, terutama dengan sistem pembuangan sampah open dumping. Untung saja, pengelolaan sampah di TPA Jelekong menggunakan sistem sanitary landfill. Itu merupakan salah satu metoda pengolahan sampah terkontrol, dengan sistem sanitasi yang baik. Sampah dibuang ke TPA, kemudian dipadatkan dengan traktor dan selanjutnya ditutup tanah. Cara ini akan mengurangi polusi udara. Pada bagian dasar dilengkapi sistem saluran leachate, yang berfungsi sebagai saluran limbah cair sampah yang harus diolah terlebih dulu, sebelum dibuang ke sungai atau ke lingkungan. Namun, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) juga memperingatkan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam sanitary landfill, yaitu semua landfill adalah warisan bagi generasi mendatang, memerlukan lahan yang luas, penyediaan dan pemilihan lokasi pembuangan harus memperhatikan dampak lingkungan, aspek sosial harus mendapat perhatian, harus dipersiapkan instalasi drainase dan sistem pengumpulan gas, kebocoran ke dalam sumber air tidak dapat ditoleriansi (kontaminasi dengan zat-zat beracun) serta memerlukan pemantauan yang terus -menerus. Kota Bandung juga masih menunggu realisasi dilakukannya pengolahan sampah terpadu oleh Pemprov Jabar. Nantinya, PD Kebersihan kemungkinan hanya bertugas mengangkuti sampah itu ke lokasi pengolahan bersama. Tapi, kalau kendala teknis operasional berupa truknya masih segitu-gitu saja, lalu apa akan ada bedanya? SELAIN mencari lahan alternatif, pemkot juga harus terus mendorong dilakukannya pengolahan sampah menjadi kompos. Sayangnya, kompos dari sampah di eks TPA Pasir impun belum laku di pasaran. Padahal, pemkot bisa saja meminta instansi miliknya semisal Dinas Pertamanan untuk membeli kompos dari sana, sehingga upaya pengolahan itu dapat terus berjalan. Setelah pengolahan sampah menjadi kompos itu berhasil, giliran masyarakat dibiasakan melakukan pemisahan sampah antara sampah organik (sampah basah) dengan sampah anorganik (sampah kering). Saat ini, sudah banyak masyarakat yang meminimalkan produksi sampah terutama sampah rumah tangga dengan teknik mendaur ulang. Selain itu, ada pula rencana yang bisi dikatakan progresif, yakni pengolahan sampah modern dengan mengadopsi teknologi yang sudah diterapkan di beberapa kota di luar negeri, misalnya di Cina. Bahkan, proses ke arah itu sudah mulai dijajaki melalui studi banding dan penyusununan studi kelayakan. Pengelolaan sampah modern yang bakal ditangani konsorsium swasta itu, bahkan segera berlanjut ke penandatanganan nota kesepahaman. Diharapkan, lama-kelamaan masyarakat dapat turut serta dalam pengelolaan sampah di kotanya. Kesadaran bahwa sampah adalah persoalan kita semua, mungkin dapat tercapai tanpa harus menunggu bencana berikutnya. (Wilda Nurlianti/PR) Post Date : 22 September 2005 |