|
Jakarta, Kompas - Penerapan proyek mekanisme pembangunan bersih di Indonesia, sebagai salah satu perangkat dalam Protokol Kyoto, masih menghadapi berbagai kendala. Hingga kini Indonesia belum memiliki Designated National Authority atau DNA sebagai syarat utama suatu negara untuk berpartisipasi dalam perdagangan karbon pada mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism/CDM). Rencana awal, DNA sudah terbentuk akhir tahun 2004, tetapi mundur hingga Mei 2005. Selain masalah DNA, kesiapan para calon pemain atau penjual karbon belum memahami sepenuhnya mekanisme perdagangan karbon. Di sisi lain, para calon penjual karbon dengan jumlah terbatas mengeluhkan tingginya biaya transaksi yang dapat mencapai 150.000 dollar AS. "Biaya transaksinya memang besar sekali," kata Direktur Operasional Yayasan Bina Usaha Lingkungan (YBUL) Nina Natalina di Jakarta, Rabu (23/2). Biaya itu di antaranya untuk administrasi, penyusunan proposal, membayar konsultan, dan fee validasi proyek oleh institusi internasional. Selama dua hari, Senin-Selasa lalu, di Jakarta, YBUL bersama Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan Institut for Global Environmental Strategies mengadakan pertemuan nasional program penguatan kapasitas terintegrasi untuk CDM. Pada acara yang dihadiri sejumlah peminat perdagangan karbon itu terkuak beberapa kendala pelaksanaan proyek yang siap diimplementasikan tahun 2008-2012. Peserta yang mewakili perusahaan teh Ciwedey, Nugroho Koesnohadi, mengusulkan agar pemerintah memfasilitasi pertemuan antara calon pembeli dari luar negeri dan calon penjual di Indonesia. Tujuannya, bisa bertransaksi langsung. Selain itu, ia juga mengusulkan agar negara maju yang termasuk dalam negara-negara Annex 1, yaitu negara yang wajib menurunkan emisinya, bersedia memberi dispensasi biaya transaksi. "Mereka kan selama ini telah menerima pajak dari perusahaan-perusahaan yang mengemisi bumi," kata dia. Menurut dia, langkah konkret seperti pengurangan biaya transaksi itu penting, khususnya bagi perusahaan dengan jumlah karbon yang akan dijual terbatas. Hal ini dimaksudkan agar keuntungan yang diperoleh para penjual menjadi lebih rasional. Menanggapi hal ini, Nina yang secara khusus mendalami persoalan energi terbarukan-termasuk CDM-mengatakan, keinginan tersebut sulit dipenuhi. Pasalnya, Indonesia bersaing dengan negara-negara lain yang tidak mensyaratkan ketentuan seperti yang diungkapkan Nugroho. Menurut dia, yang bisa dilakukan adalah melobi negara-negara calon pembeli agar turut bersedia menanggung biaya transaksi, seperti dalam bentuk penyusunan proposal atau variabel-variabel lainnya. Pembangunan kapasitas Nina mengungkapkan, salah satu hal penting yang perlu terus dilakukan adalah pembangunan kapasitas para pengusaha yang memiliki potensi menjual karbon. Berdasarkan pengalamannya, banyak pengusaha Indonesia yang belum mengerti bagaimana mengetahui proyeknya sudah layak masuk proyek CDM atau tidak. "Ini sangat penting dan mendasar sebelum memfasilitasi pertemuan calon penjual dan pembeli. Jangan-jangan nanti, setelah bertemu, ternyata proyeknya tidak layak masuk proyek CDM," kata dia. Hingga kini, dari seluruh perusahaan di Indonesia, baru tercatat sedikit perusahaan yang serius mempersiapkan proyek CDM, masing-masing PT Indocement dan Chevron-Texaco Energy Indonesia. (GSA) Post Date : 24 Februari 2005 |