Penentu Harga Air, Tak Mau Tahu pada Beban Rakyat

Sumber:Suara Pembaruan - 26 Oktober 2005
Kategori:Air Minum
WAJAH Ojan (36) tampak tidak percaya ketika seorang tukang air bersih mengatakan bahwa harga satu jeriken air bersih isi 20 liter Rp 15.000. "Kok naiknya tinggi banget ya. Padahal, minggu lalu masih Rp 7.000 per jerikennya," ujar Ojan setengah bertanya.

Ojan mengakui, setiap hari, dia membutuhkan sekitar lima jeriken yang digunakan untuk mandi, dan sebagian lainnya untuk usaha jual kepala muda.

Karena itu, dia "berteriak" dengan kenaikan harga air bersih yang cukup siginifikan itu. "Masakan saya harus mengeluarkan uang Rp 75.000 setiap harinya hanya untuk air," kata dia.

Untungnya, kata Ojan, yang memiliki usaha kelapa muda di Tanjung Priok, Jakarta Utara, air bersih yang dibutuhkan untuk usahanya itu tidak terlalu banyak, karena masih bisa mendapat tambahan dari air kelapa itu sendiri.

"Paling-paling, saya hanya butuh sekitar 10 liter untuk dagangan saya. Selebihnya untuk mandi dan minum di rumah," ujar dia.

Setiap hari, Ojan harus membeli air bersih, karena di rumah kontrakannya yang terletak tidak jauh dari lapak dagangannya, dia kesulitan air bersih. Hampir setiap hari, pasokan air di rumah kontrakannya tidak berjalan dengan baik, sehingga dia harus membeli dari tukang air yang biasa beroperasi di kawasan tersebut.

"Saya juga enggak mengerti kenapa air PAM saya mati terus. Karena itu saya selalu beli air," ujar dia.

Meski harus mengeluarkan uang yang cukup besar setiap hari hanya untuk air bersih, pria asal Cirebon, Jawa Barat itu merasa bersyukur, karena dagangannya cukup laris. "Apalagi di bulan Puasa ini. Hampir setiap hari keuntungan saya bisa mencapai 75 persen," ujar dia.

Sulit

Berbeda dengan Ojan yang memiliki usaha yang cukup potensial, warga Jl Enim, Sungai Bambu, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Agus Supriyadi (37) harus "banting tulang" untuk membagi pendapatannya guna membeli air bersih.

Agus mengakui, kualitas air yang didapatkannya dari PAM sangat buruk, karena itu dia terpaksa membeli dari tukang air yang biasa mutar di lingkungan rumahnya. Setiap hari, dia harus mengeluarkan dana sekitar Rp 50.000 hanya untuk air bersih. Sebagian besar untuk di masak, sedangkan sisanya untuk mandi. Untungnya dia hanya hidup berdua dengan sang istri.

"Ya itulah untungnya. Kalau di rumah ini lebih dari dua orang, mungkin bisa lebih," kata dia.

Agus yang sehari-harinya bekerja di perusahaan swasta mengakui, semenjak adanya kenaikan bahan bakar minyak (BBM), harga air melonjak hampir 100 persen. "Itulah yang saya tidak mengerti, kenapa naiknya cukup tinggi. Pengaruhnya terhadap BBM apa ya," tanya dia seperti tidak percaya.

Dia menambahkan, naiknya harga air semakin memperberat hidupnya, karena hampir semua kebutuhan pokok juga melonjak naik. Karena itu baik Ojan maupun Agus, berharap Pemprov DKI Jakarta bisa memperbaiki manajemen dan kebijakan mengenai air bersih.

"Karena jika semakin langka, harganya juga semakin tinggi," tambah Agus.

Ratusan keluarga di RW 08/09dan 10 Kelurahan Kali Baru, Cilincing Jakarta Utara hingga kini masih kesulitan air bersih. Bahkan, banyak diantara mereka yang telah memutuskan sambungan air dengan pihak TPJ. Lebih baik diputus, sebab mereka harus membayar abonemen Rp 15.000/bulan padahal air tak pernah mengucur. Direktur Teknis PAM Jaya, Christ Tetuko mengakui, meski telah mengalami kenaikan tarif sebesar 120 persen sejak tahun 1998, kualitas pelayanan PAM Jaya masih buruk. Sampai saat ini, air yang didistribusikan masih tak seimbang dengan kebutuhan konsumen. Bahkan, tingkat kebocoran masih mencapai 46 persen sampai saat ini.

Dari 704.000 pelanggan, lanjutnya, 11 persen di antaranya dengan tingkat pemakaian air nol. Hal ini disebabkan kebanyakan dari mereka tak mendapat air.

Di tengah pelayanan yang buruk, harga air terus naik. Apalagi PAM Jaya menaikkan tarif air bersih secara otomatis (PTO) sesuai dengan SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 138 tentang PTO tanggal 20 Januari 2005.

PTO akan dilakukan setiap semester, atau enam bulan, terhitung mulai 2005 sampai 2007. "Kenaikan tarif dilakukan karena PDAM Jaya mengalami defisit akibat tarif air yang terlalu rendah dibandingkan dengan imbalan yang harus dibayarkan kepada kedua mitra asing kami, yakni TPJ dan Palyja. Selain itu, juga disesuaikan dengan tingkat inflasi yang sudah mencapai delapan persen," kata Ketua Badan Regulator Pelayanan Air Minum DKI Jakarta, Achmad Lanti.

Dikatakan, defisit yang dialami PDAM sudah terjadi mulai semester II 1998. Christ hanya berjanji, PDAM akan mengupayakan peningkatan kualitas pelayanan bagi pelanggan. Penambahan jaringan bagi pelanggan baru akan sangat dibatasi dan lebih difokuskan untuk pelanggan yang ada. Kita lihat saja nanti. (M-16)

Post Date : 26 Oktober 2005