|
SEMARANG (Suara Karya): Ribuan pengungsi Gunung Merapi di Kabupaten Klaten, yang telah kembali ke rumah masing-masing, dilanda kekeringan hebat. Mereka mengalami krisis air bersih yang merata di berbagai wilayah sejak sepekan terakhir. Karena droping air bersih dari pemkab tidak merata, penduduk nekat meminum sisa air di telaga, sumur, maupun air di tandon-tandon tadah hujan yang seluruhnya sudah tercemar abu vulkanik letusan Merapi beberapa waktu lalu. Jika tidak melakukan hal itu, mereka khawatir "mati" kehausan. "Bagi penduduk yang berkantong tebal, mereka bisa dengan mudah membeli air bersih yang harganya melonjak sampai Rp 150.000 per tanki. Tapi mana ada mantan pengungsi yang memiliki uang sebanyak itu," tutur Giyarto, penduduk Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang, Klaten, kemarin. Didampingi Sujak dan Warno, laki-laki separo baya itu mengatakan, warga setempat terpaksa nekat mengonsumsi air bercampur abu vulkanik karena bantuan air bersih dari Pemkab Klaten belum merata ke semua wilayah di lereng Gunung Merapi. Untuk mencegah agar masyarakat tidak terserang penyakit akibat minum air kotor, dia berharap agar pemkab lebih meningkatkan intensitas pengedropan air bersihnya ke kawasan Merapi. Semua warga saat ini kembali berbenah untuk menata rumah setelah lama ditinggal mengungsi. Jadi, jangan sampai terbebani lagi dengan kelangkaan air bersih. Perilaku menyimpang berupa nekat meminum air bercampur abu vulkanik Merapi juga dilakukan sebagian besar penduduk Desa Tegalmulyo, Klaten. Mereka terpaksa melakukan hal itu dengan alasan yang sama, yaitu droping air bersih dari pemkab belum sampai ke daerahnya. Karena tidak ada air layak konsumsi, mereka terpaksa memasak dan meminum air dari satu-satunya tandon yang masih tersisa dan sudah bercampur abu vulkanik. Sejumlah penduduk Desa Sidorejo lainnya, yang selama ini mengandalkan pasokan air dari Bebeng, Cangkringan, Kabupaten Sleman, mengemukakan, sejak Bendungan Bebeng rusak diterjang awan panas dan lahar Merapi, mereka kini mesti memburu air bersih di sumber lain dan itu memerlukan kerja keras karena harus berjalan berkilo-kilo meter. Sementara itu, karena tak ada lagi hujan kiriman dan jatah oncoran air dari irigasi teknis macet akibat kemarau panjang, ratusan hektare tanaman padi milik petani di tiga kecamatan, masing-masing Juwiring, Wonosari, dan Delanggu, Kabupaten Klaten, saat ini juga terancam gagal panen. Pemandangan tersebut cukup memilukan, lantaran Klaten juga belum rampung berbenah setelah dilanda gempa bumi. Karena khawatir gagal panen, para petani setempat kini banyak yang membabat tanaman padi mudanya untuk seterusnya mengganti dengan tanaman palawija. Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Klaten, Ir Untung Fuji Sararso, menjelaskan, daerah rawan kekeringan di Kabupaten Klaten sekarang sebenarnya tidak berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Pihaknya kini melakukan sosialisasi kepada para petani agar pintar-pintar mengatur pola tanam. Sepanjang itu dipedomani dengan benar, dampak kekeringan pasti bisa diminimalisasi. (Pudjo Saptono) Post Date : 03 Agustus 2006 |