|
SEIRING dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin pesat di berbagai kota besar di Indonesia dalam 5 tahun terakhir ini, ikut menumbuhkan upaya pemerintah kota untuk menyesuaikan kondisi prasarana dan sarana perkotaan. Salah satu dari hal tersebut adalah mengenai sistem persampahan kota, yang masih menjadi kontroversi di Indonesia, akan ketersediaan teknologi pemusnahan yang paling jitu untuk wilayah perkotaan. Lahan Urug Saniter di Indonesia Penerapan teknologi lahan urug saniter yang ternyata beralih menjadi teknologi pembuangan terbuka, telah menjadi suatu fenomena tersendiri. Teknologi yang diharapkan menyelesaikan masalah lingkungan akibat sampah, justru memberikan permasalahan lingkungan lainnya. Kerusakan tanah, air tanah, dan air permukaan sekitar akibat air lindi, sudah mencapai tahap yang membahayakan kesehatan masyarakat, khususnya dari segi sanitasi lingkungan dan timbulnya penyakit bawaan air. Gambaran yang paling mendasar dari penerapan teknologi lahan urug saniter adalah kebutuhan lahan dalam jumlah yang cukup luas untuk tiap satuan volume sampah yang akan diolah. Teknologi ini memang direncanakan untuk suatu kota yang memiliki lahan dalam jumlah yang luas dan murah. Pada kenyataannya, lahan di berbagai kota besar di Indonesia dapat dikatakan sangat terbatas dan dengan harga yang tinggi pula. Dalam hal ini, penerapan lahan urug saniter sangatlah tidak sesuai. Tiada kota dimanapun di seluruh dunia, yang memusnahkan sampah dalam 1 buah lahan urug saniter yang sama untuk melayani 12 juta jiwa, selain Jakarta ! Setiap teknologi tentunya memiliki suatu kisaran untuk besaran prosesnya. Namun, 12 juta jiwa dalam 1 buah lahan urug saniter yang sama adalah hal yang luar biasa. Dan dapat dipastikan, bahwa kinerja lahan urug saniter tersebut sangat rendah. Teknologi Pembakaran : Teknologi Dengan Lahan Terbatas Berdasarkan pertimbangan di atas, dapat diperkirakan bahwa teknologi yang paling tepat untuk pemecahan masalah di atas, adalah teknologi pemusnahan sampah yang hemat dalam penggunaan lahan. Konsep utama dalam pemusnahan sampah selaku buangan padat adalah reduksi volume secara maksimum. Salah satu teknologi yang dapat menjawab tantangan tersebut adalah teknologi pembakaran yang terkontrol atau insinerasi, dengan menggunakan insinerator. Teknologi insinerasi membutuhkan luas lahan yang lebih hemat, dan disertai dengan reduksi volume residu yang tersisa ( fly ash dan bottom ash ) dibandingkan dengan volume sampah semula. Sebagai suatu teknologi alternatif, maka teknologi ini harus mampu memperbaiki kelemahan pada teknologi sebelumnya, yang disertai dengan penurunan biaya total ( biaya investasi, biaya pengoperasian, dan biaya pemeliharaan ), peningkatan kualitas proses secara total, serta perlindungan dan penerimaan sosial dari lingkungan dan makhluk hidup di sekitarnya dengan lebih baik pula. Biaya Investasi, Biaya Pengoperasian, dan Biaya Pemeliharaan Berdasarkan riset yang pernah dilakukan di beberapa negara ; biaya investasi, biaya pengoperasian, dan biaya pemeliharaan pada teknologi insinerasi sampah dapat dikatakan padat modal. Biaya investasi untuk pembangunan fisik instalasi insinerasi yang dimaksud di sini adalah biaya untuk pembangunan fisik instalasi insinerasi. Instalasi insinerasi membutuhkan peralatan mekanikal elektrikal yang cukup padat modal. Salah satu bagian yang paling padat modal pada insinerator adalah dinding insinerator atau yang lebih dikenal sebagai refraktori. Refraktori tersusun atas beberapa lapis material isolator yang harus mampu menyekat panas agar tidak lepas ke lingkungan. Lepasnya panas ke lingkungan akan menurunkan kinerja proses insinerasi dan menurunkan totalitas kualitas pemusnahan sampah yan diinginkan. Sedangkan biaya investasi ditinjau dari luas lahan dapat dikatakan jauh lebih murah ketimbang luas lahan yang dibutuhkan untuk teknologi lahan urug saniter pada volume sampah yang sama. Sekalipun masih dibutuhkan lahan urug saniter untuk menangani fly ash dan bottom ash yang terbentuk, luas lahan yang dibutuhkan juga masih lebih kecil. Biaya pengoperasian lahan urug saniter dapat dikatakan lebih murah daripada biaya pengoperasian pada insinerator. Hal ini lebih diakibatkan oleh kebutuhan bahan bakar yang cukup tingginya untuk menaikkan temperatur ruang bakar. Secara umum, temperatur ruang baker pertama adalah 600 oC dan 800 oC pada ruang baker kedua. Hal ini ditujukan untuk mereduksi terbentuknya senyawa karsinogenik dioksin dan furan sebagai produk samping pembakaran senyawa yang berbasis pada chlorinated organic compounds, seperti plastik dan PVC. Meskipun pada kenyataannya, beberapa insinerator di Amerika Serikat yang dioperasikan pada temperatur di atas 800 oC masih juga menghasilkan kedua senyawa karsinogenik tersebut. Namun hal ini sudah menjadi semacam ketetapan umum bahwa standar perencaaan temperatur pada insinerator adalah 600 oC dan 800 oC. Sementara temperatur alami sampah kota di Indonesia dengan pengeringan yang paling maksimum sekalipun hanya dapat menaikkan temperatur pada 200 oC. Selisih sebesar 400 oC dan 600 oC diperoleh dengan penggunaan bahan bakar tambahan. Pemanfaatan minyak tanah, bensin, dan gas alam dapat dijadikan pilihan untuk bahan bakar. Volume bahan bakar tambahan sangat ditentukan oleh selisih kalor yang dibutuhkan untuk menaikkan sejumlah temperatur, dibandingkan dengan nilai kalor yang terkandung pada bahan bakar tersebut. Biaya pemeliharaan insinerator relatif lebih tinggi ketimbang biaya pemeliharaan lahan urug saniter. Hal ini lebih diakibatkan instrumentasi pendukung insinerator umumnya berupa peralatan mekanikal elektrikal yang butuh perawatan lebih tinggi daripada lahan urug saniter.Umur teknis insinerator juga harus dipertimbangkan untuk menghitung Net Present Value insinerator yang direncanakan. Sebagai suatu instalasi yang menjadi infrastruktur perkotaan, insinerator dapat direncanakan pada 30 tahun periode desain. Biaya Kerusakan Lingkungan Setiap teknologi akan memberikan dampak tersendiri yang khas pada lingkungan hidup dan manusia yang hidup di sekitarnya. Teknologi lahan urug saniter juga memberikan dampak negatif, jika air lindi tidak dikelola dengan baik sehingga mengakibatkan pencemaran tanah dan air tanah di sekitarnya. Bau yang ditimbulkan akibat degradasi anaerobik pada lahan urug saniter juga seringkali memberikan dampak negatif pula. Sedangkan insinerator lebih banyak memberikan dampak berupa pencemaran udara. Produk pembakaran yang terbentuk berupa gas buang COx, NOx, SOx, partikulat, dioksin, furan, dan logam berat yang dilepaskan ke atmosfer harus dipertimbangkan. Dalam hal ini, perlu penelitian lebih lanjut khususnyamengenai isu pencemar dioksin dan furan yang dikategorikan sebagai zat karsinogenik ( penyebab penyakit kanker ). Teknologi yang ada saat ini belum sepenuhnya menjawab tantangan mengenai eliminasi senyawa dioksin dan furan, yang dapat terbentuk pada berbagai variasi proses insinerasi di berbegai negara di dunia. Dampak kerusakan lingkungan khususnya dihitung dan dikonversi berdasarkan nilai kerugian kesehatan manusia yang diderita akibat masukan teknologi ini. Berapa jumlah manusia yang terpapar dengan jumlah pencemar yang ada, serta risiko kesehatan yang akan diperoleh dalam jangka waktu tertentu. Nilai ini dihitung berdasarkan biaya pengobatan yang dibutuhkan, serta turunnya produktifitas masyarakat akibat gangguan kesehatan yang diterima. Biaya Sosial Lahan urug saniter saat ini banyak mendapat kecaman dari masyarakat, mengingat masih tidak dijalankannya proses lahan urug saniter ini dengan tepat. Masih banyak dampak negatif dari teknologi lahan urug saniter yang sesungguhnya tidak perlu terjadi jika lahan urug saniter dioperasikan dengan benar. Pada insinerator, kita dapat mengacu pula pada pengalaman di beberapa negara maju, khususnya Eropa dan Amerika Serikat. Di Eropa dan Amerika Serikat dalam 10 tahun terkahir ini menunjukkan akan semakin tingginya tuntutan masyarakat atas penutupan insinerator sampah yang selama ini banyak beroperasi di sana. Masyarakat di Eropa dan Amerika Serikat menolak kehadiran insinerator sebagai sumber pencemar udara, khususnya senyawa dioksin dan furan yang bersifat karsinogenik. Oleh karenanya, perlu dibuat suatu studi kelayakan dengan melibatkan peran serta masyarakat, atas penerimaan mereka terhadap suatu masukan teknologi baru ini. Investasi tidak boleh menjadi suatu hal yang percuma, setelah sekian waktu beroperasi dan kemudian dihentikan, akibat masyarakat yang menolaknya. Perubahan teknologi juga harus memperhitungkan dampak sosial yang akan muncul. Perubahan lapangan pekerjaan yang diukur dengan keterserapan tenaga kerja yang secara langsung ataupun tidak langsung dari penerapan teknologi baru harus dipertimbangkan. Hal ini seringkali tidak diperhatikan dan menimbulkan permasalahan sosial yang lebih besar. Keuntungan Yang Diperoleh Keuntungan yang diperoleh anatara penerapan teknologi lahan urug saniter dan insinerator harus dibandingkan. Dalam hal ini, keberhasilan dalam reduksi volume sampah yang menjadi tujuan utama harus dijadikan patokan. Tingkat efisiensi dari reduksi volume sampah yang sama pada suatu satuan waktu, satuan harga pemusnahan sampah tiap satuan volume sampah, satuan luas lahan instalasi tiap satuan volume sampah, satuan kerusakan lingkungan yang dihasilkan tiap satuan volume sampah, satuan gangguan atas ketidaksiapan masyarakat dan sosial atas masukan teknologi baru atas setiap satuan volume sampah, harus diperhitungkan dengan baik. Dengan menghitung keuntungan yang diperoleh dan dikurangi dengan biaya yang dibutuhkan secara totalitas, maka perbandingan ini dapat dijadikan sebagai suatu tolok ukur atas perhitungan untuk penentuan teknologi pemusnahan sampah yang akan diterapkan dalam suatu kacamata perbandingan yang lebih adil. Bukanlah tidak mungkin bahwa lahan urug saniter dapat menjadi suatu pilihan yang lebih murah atau juga mungkin lebih mahal. Dan untuk lebih menjamin keberlangsungan proses sesuai dengan yang diinginkan berdasarkan biaya yang telah dihitung, teknologi yang dipilih harus sungguh sungguh dijalankan sesuai dengan kriteria perencanaan yang telah dibuat, agar mencapai perfoma sesuai dengan yang telah direncanakan. Partisipasi masyarakat khususnya untuk mencari pendapat dan pandangan atas masukan teknologi tersebut mutlak diperlukan. Hal ini akan semakin menjamin keberlangsungan dari teknologi yang akan diterapkan. *) Penulis adalah mahasiswa pascasarjana Master of Environmental Engineering Science student, UNSW, Australia. Kontak dengan penulis : sandhieb@yahoo.com Post Date : 30 Juni 2004 |