|
BANDUNG, (PR).- Dalam sepuluh tahun terakhir Sungai Citarum mengalami pendangkalan atau sedimentasi mencapai 4 meter, sehingga meningkatkan potensi banjir di wilayah sekitar sungai. Pendangkalan terparah terjadi di sejumlah muara anak sungai, seperti Sungai Citepus dan Cikapundung, serta kelokan sungai. Demikian dikatakan Pimpinan Projek Pengendalian Banjir dan Penanganan Pantai (PPBPP) Citarum, Arung Samudra, di kantornya, Senin (20/12). "Pendangkalan yang terutama diakibatkan erosi tanah dan tumpukan sampah itu mengakibatkan permukaan air Citarum ikut meninggi. Jangan heran, jika permukaan air Citarum pada beberapa titik sudah lebih tinggi dibanding permukiman penduduk," katanya. Arung mengatakan, pendangkalan yang mencapai 4 meter itu mengakibatkan kedalaman Sungai Citarum kembali seperti keadaan 10 tahun lalu sebelum dikeruk. "Akibatnya, pengerukan dengan cara pendalaman Sungai Citarum mulai dari Nanjung hingga Bojongsoang yang dilakukan pada tahap pertama, 1999 hingga 2004, nyaris tak terlihat lagi hasilnya. Sungai yang telah didalamkan itu sekarang kembali menjadi dangkal," katanya. Dikatakan Arung, hasil pengerukan tahap pertama yang masih tampak saat ini hanya pelebaran dan pelurusan sungai. "Adapun pengerukan tahap kedua yang dilakukan di Citarum (Bojongsoang hingga Cirasea) serta dua anak sungainya yaitu Citarik (Sapan s.d. Haurpugur dan Cisaranten (Cikeruh s.d. Soekarno Hatta) baru akan selesai pada Desember 2005 mendatang. Total panjang pengerukan tahap pertama dan kedua mencapai sekira 50 km," katanya. Menurut Arung, tingkat erosi yang sangat tinggi itu disebabkan kerusakan hutan yang sangat parah di hulu Citarum. "Kondisi itu semakin diperparah dengan perilaku masyarakat yang tidak ramah lingkungan seperti membuang sampah sembarangan. Jadi, pendangkalan setinggi 4 meter itu terdiri dari campuran tanah dan sampah," katanya. Dijelaskan Arung, kelokan sungai mengakibatkan aliran sampah dan tanah menjadi terhambat dan kemudian bertumpuk. "Walau begitu, pada aliran sungai yang lurus pun, tingkat pendangkalan juga cukup parah yaitu mencapai sekira 2 meter. Pasalnya, dalam satu kali banjir saja, tinggi pendangkalan itu bisa mencapai 20 cm. Bayangkan, itu hanya satu kali banjir!" katanya. Rp 100 miliar Berdasarkan itu, Arung sangat paham dengan keinginan masyarakat agar Citarum kembali dikeruk. "Kami pun sudah menindaklanjuti dengan mengajukan perpanjangan pengerukan tahap kedua kepada Japan Bank of International Corporation (JBIC) sebagai pihak yang membiayai pengerukan Citarum sejak 1994 lalu. Namun, hingga kini usulan perpanjangan itu belum disetujui karena masih dalam proses," katanya. Diungkapkan Arung, perpanjangan pengerukan itu sangat mungkin dilakukan karena masih ada dana sisa sekira Rp 100 miliar di JBIC. "Adanya sisa dana itu akibat anjloknya nilai rupiah sejak krisis ekonomi sehingga terjadi perubahan apresiasi terhadap mata uang Yen," katanya. Dikatakan Arung, selain untuk mengeruk ulang Citarum mulai dari Nanjung hingga Bojongsoang, dana Rp 100 miliar itu juga akan digunakan untuk mengeruk Citarum (Cirasea s.d. Majalaya) dan Sungai Cisangkuy (Sukasari s.d. Kamasan di Banjaran) dengan panjang keduanya mencapai 10 km. Namun, dana Rp 100 miliar itu hanya cukup untuk pengerukan, tidak termasuk pembebasan tanah. JBIC selama ini enggan mendanai pembebasan tanah barang sepeser pun," katanya. Meskipun pelurusan sungai sudah ditinggalkan di negara-negara maju seperti Jepang dan AS, Arung menilai cara itu masih dibutuhkan di Citarum. "Renaturalisasi atau mengembalikan sungai seperti keadaannya semula masih sulit dilakukan di Citarum yang dipenuhi sampah," katanya. Kalau hutan di hulu Citarum lestari dan sungainya tidak dipenuhi sampah, Arung mengakui pelurusan Citarum tidak diperlukan lagi. "Sambil meluruskan sungai, penyadaran masyarakat juga harus terus digalakkan sehingga kelak pelurusan tidak perlu dilakukan lagi. Jadi, dalam kondisi seperti sekarang, pembangunan struktur harus dilakukan dulu. Setelah itu, baru pembangunan nonstruktur seperti penyadaran masyarakat," katanya. Permukaan tanah Sementara itu, Kepala Seksi Pertambangan Umum Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kab. Bandung, Ir. Kawaludin menyatakan, penyedotan air tanah di sejumlah daerah industri di cekungan Bandung dipastikan telah mengakibatkan permukaan tanah di sekitarnya mengalami penurunan. Keadaan itu pada tahap tertentu bisa mengakibatkan keretakan pada bangunan atau bahkan amblasnya tanah. "Penurunan muka tanah di Kab. Bandung antara lain terjadi di Dayeuhkolot, Rancaekek, Baleendah, dan Majalaya. Di Kota Cimahi pun terjadi hal yang sama," kata Kawaludin di kantornya, Senin (20/12). Kawaludin mengatakan, penurunan muka tanah di Dayeuhkolot merupakan yang terparah di Kab. Bandung. "Namun, penurunan muka tanah terparah di cekungan Bandung secara keseluruhan terjadi di Kota Cimahi. Data itu berdasarkan hasil penelitian Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan (DTLGKP) yang sebelumnya bernama Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan (DGTL)," katanya. Dikatakan, penyedotan air tanah secara berlebihan bisa mengakibatkan tanah "kopong" sehingga mudah amblas atau longsor. "Bila terjadi, hal itu sangat membahayakan karena bisa turut merusak jaringan listrik, pipa gas, dan sebagainya. Jadi, bukan tidak mungkin, amblasnya tanah itu juga bisa mengakibatkan kebakaran," katanya. Untuk menghindari semakin parahnya penurunan muka tanah, Kawaludin mengatakan rehabilitasi lahan kritis, pengendalian air tanah, dan relokasi pabrik mutlak harus dilakukan. "Rehabilitasi lahan kritis terutama di daerah tangkapan air sangat penting sebagai sumber air tanah. Kegiatan ini harus terus ditingkatkan ke depannya," katanya. Kawaludin juga mengatakan tambahan sumur bor baru di daerah yang sudah kritis tidak diperbolehkan lagi. "Kelak di lahan relokasi pun, pabrik jangan menggunakan air tanah, melainkan cukup dengan air permukaan saja," katanya. (A-129) Post Date : 21 Desember 2004 |