|
KEPRIHATINAN tampaknya masih akan mewarnai peringatan Hari Air Sedunia yang jatuh pada 22 Maret. Dalam Laporan Perkembangan Kondisi Air Dunia (WWDR) yang dirilis PBB, kemarin, ketersediaan air bersih semakin kritis. Asia yang terkenal sebagai wilayah yang cukup air pun tidak luput dari kondisi itu. Benua yang ditinggali 60% warga dunia ini hanya memiliki sepertiga sumber air dunia. Kini, ketersediaan air makin terancam karena beberapa hal, salah satunya cuaca ekstrem. Variabilitas cuaca yang tinggi itu tidak hanya bisa menyebabkan kekeringan, tetapi juga membuat sumber-sumber air bersih lebih sulit dijangkau. Salah satu contohnya ialah banjir yang bisa merusak infrastruktur dan mencemari air bersih itu sendiri. Meski begitu, ancaman cuaca ekstrem dan bencana alam terhadap ketersediaan air bersih tidak lebih besar daripada akibat yang timbul dari pertumbuhan populasi manusia. Laporan yang diterbitkan tiga tahun sekali itu menyebutkan pertumbuhan populasi, urbanisasi, industrialisasi, dan kegiatan ekonomi menjadi faktor utama yang menekan ketersediaan air bersih. Dalam 50 tahun terakhir, menurut PBB, penyedotan air akuifer, yakni air di antara lapisan batuan tanah, telah meningkat tiga kali lipat. `Di beberapa tempat, penyedotan di sumber air yang tidak dapat diperbarui itu sudah mencapai tahap kritis', tulis laporan yang dibuat ahli-ahli UNESCO itu dan dirilis di laman http://www. unesco.org. Namun, menipisnya cadangan air bersih tidak hanya disebabkan penyedotan, tetapi juga pencemaran di badan air. PBB menghitung, di kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia, total air limbah yang diproduksi kawasan urban sekitar 150-250 juta kubik per hari. Sayangnya, banyak limbah tidak dikelola dengan baik. Sebagian besar limbah dibuang begitu saja ke badan air, seperti sungai, atau dibiarkan merembes ke tanah hingga mencemari air di dalamnya. `Hanya sekitar 15%-20% limbah yang melalui pengolahan sebelum dibuang ke saluran umum. Limbah yang lainnya dibuang begitu saja dengan banyak kandungan polusi dan racun', demikian bunyi laporan yang dipaparkan di Forum Air Dunia (WWF) di Marseille, Prancis. Di sisi lain, PBB juga mencatat upaya pemerintah negara-negara di Asia untuk membuat infrastruktur perairan yang lebih efisien secara ekologis. Beberapa cara yang disoroti PBB adalah pembuatan fasilitas pengolahan limbah terdesentralisasi, penggunaan kembali air limbah, dan rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS). PBB menilai pengolahan limbah secara terdesentralisasi lebih menguntungkan karena tidak membutuhkan tempat luas dan dana besar. Namun, langkah yang lebih esensial untuk dilakukan ialah mengolah air limbah agar dapat dimanfaatkan kembali, bukan sekadar aman untuk dibuang ke badan air umum. Negara-negara Asia harus melakukan daur ulang air limbah untuk mengamankan suplai air bersih. Penggunaan kembali air limbah oleh sektor swasta sebenarnya sudah dilakukan di Indonesia. Sebuah mal di kawasan Bundaran HI menggunakan air limbah untuk pendingin udara dan untuk flush toilet. Namun, air daur ulang itu belum digunakan untuk kebutuhan lainnya, seperti wastafel, meskipun berdasarkan uji laboratorium sudah memenuhi baku mutu air. Pengelola mal saat itu mengatakan kemungkinan penolakan dari konsumen menjadi pertimbangan mereka. Padahal, penggunaan air limbah daur ulang tidak hanya dapat menghemat penggunaan air bersih, tetapi juga dapat menghemat biaya operasional. Kebutuhan air pertanian Menipisnya ketersediaan air bersih tidak hanya menjadi masalah di daerah urban, tetapi juga di daerah pinggiran, khususnya daerah pertanian. PBB menyebutkan, saat ini, sekitar 70% konsumsi air dihabiskan industri pertanian. Persentase tersebut memang berbeda antara negara maju dan berkembang, yakni lebih dari 90% konsumsi air bisa disedot industri pertanian di negara berkembang, sedangkan di negara maju bisa ditekan hingga hanya 44%. Perbedaan yang signifikan itu bisa dihasilkan karena teknologi yang membuat penggunaan air lebih efisien. Dengan populasi yang terus meningkat, kebutuhan pangan diperkirakan naik 70% pada 2050. Dari situ dan dengan metode pertanian yang umum saat ini PBB memperkirakan konsumsi air industri pertanian akan naik hingga 20%. Kondisi ini tentunya harus menjadi perhatian negara-negara agraris. Air untuk kebutuhan pertanian dapat semakin bersaing dengan kebutuhan domestik. Saat ini saja 2,5 miliar penduduk dunia diperkirakan tidak memiliki akses yang layak untuk sanitasi. Karena itu, PBB mendorong industri pertanian untuk semakin selektif. Budi daya diharapkan lebih mengarah kepada tanaman yang lebih tidak `rakus' air. Selain itu, sistem irigasi yang efisien tentunya harus lebih dikembangkan. BINTANG KRISANTI Post Date : 13 Maret 2012 |