Pencacah Sampah Sisa Hasil Pertanian

Sumber:Kompas - 03 Maret 2012
Kategori:Sampah Luar Jakarta
Sisa hasil pertanian merupakan bahan bagus untuk membuat pupuk organik. SMK Negeri 2 Metro, Lampung, yang jeli melihat peluang ini, membuat mesin pencacah sampah dan alat pembuat kompos untuk memanfaatkan sampah organik sisa panen. 
 
Mesin pencacah sampah berkapasitas 5 kuintal per jam yang digerakkan listrik membuat batang padi, sayuran tak terpakai, hingga batang jagung, baik basah maupun kering, terpotong kecil-kecil. Sampah organik yang sudah dicacah ini dipindahkan ke alat pembuat kompos sederhana yang dimodifikasi dari tong plastik berkapasitas 100 liter.
 
Dengan mesin pencacah sampah dan alat pembuat kompos, siswa SMKN 2 Metro tidak lagi memikirkan pembuangan sisa hasil panen di lahan sekolah dan lahan khusus budidaya. Pembuatan kompos menjadi lebih cepat, yang hasilnya bisa dipakai untuk menyuburkan lahan pertanian yang dimiliki sekolah ataupun untuk dijual.
 
Alat tersebut dibuat guru dan siswa dari program keahlian mekanisasi pertanian. Kini, mesin pencacah sampah yang sudah ada hendak dimodifikasi.
 
Modifikasi bertujuan agar mesin pencacah yang menggunakan listrik berkapasitas 1.300 watt bisa menggunakan mesin diesel. Dengan demikian, ada pilihan jika mesin pencacah hendak dipakai di area pertanian yang tidak ada listrik.
 
Sugiyantopo, Wakil Kepala SMKN 2 Metro Bidang Hubungan Kerja Sama Industri dan Hubungan Masyarakat, mengatakan, mesin pencacah sampah sebenarnya sudah dibuat lama. Pengembangan baru adalah modifikasi alat pembuat kompos.
 
”Pemerintah Kota Metro merespons karya siswa kami dengan memesan 10 alat pembuat kompos. Nanti akan dibuat percontohan untuk pengolahan sampah organik, baik di pertanian, perumahan, maupun perkantoran,” kata Sugiyantopo.
 
Bambang Miswanto, Ketua Program Keahlian Mekanisasi Pertanian, mengatakan, awalnya pembuatan kompos di lingkungan sekolah dilaksanakan secara manual, yakni di dalam bak. Namun, cara ini tidak efektif dan memakan waktu lama.
 
Sekolah pun berinisiatif membuat alat pembuat kompos yang lebih mudah dipakai. Siswa diajak bergabung dalam tim untuk memikirkan desain alat pembuat kompos.
 
Alat pembuat kompos yang sederhana pun berhasil diciptakan. Alat pembuat kompos terbuat dari tong plastik berukuran 100 liter itu di pasaran dijual Rp 125.000.
 
Di bagian tengah tong dibuat semacam pintu kecil yang bisa dibuka dan ditutup dengan sedikit celah. Pintu kecil ini dipasangi engsel berukuran kecil.
 
Adapun di bagian penutup tong diberi alat pemutar yang bisa menggerakkan tong. Dengan adanya alat pemutar, pengadukan sampah organik yang diberi bibit bakteri EM4 tidak perlu lagi dilakukan secara manual.
 
Tong disangga dengan pelat strip sebagai dudukan sehingga memudahkan pemutaran tong hingga 360 derajat. Pengadukan bertujuan mempercepat matangnya kompos.
 
Alat pertanian lain produksi SMKN 2 Metro adalah mesin perontok jagung, mesin pembuat tapioka, dan mesin perontok padi. ”Pembuatan alat untuk pascapanen memang masih sederhana. Kami berharap ke depan bisa terus berkembang,” kata Sugiyantopo.
 
Mengolah hasil pertanian
 
Tidak hanya menjadi ahli pembuat alat pendukung produktivitas pertanian yang tepat guna, siswa juga didorong menjadi ahli pengolah hasil pertanian. Keahlian ini dibutuhkan untuk membuat hasil pertanian, terutama produk unggulan di daerah, bernilai jual lebih tinggi.
 
Kreativitas mengolah hasil pertanian siswa SMKN 2 Metro setidaknya ditunjukkan di ajang prestasi lomba keterampilan siswa SMK tingkat nasional. Pada kurun 2006-2011, siswa mampu menunjukkan prestasi sebagai juara I, II, III, dan IV tingkat nasional.
 
Para siswa membuat kue blackforest dengan bahan jagung yang banyak ditemui di daerah ini. Pernah juga siswa berkreasi memanfaatkan suweg (semacam umbi-umbian) untuk dibuat menjadi tepung sebagai bahan membuat kue blackforest.
 
Sugiyantopo memaparkan, untuk program keahlian teknologi pengolahan hasil pertanian, 20 persen lulusan SMK di sekolah yang berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) sejak 2006 ini bisa berwirausaha. Permintaan tenaga kerja di perusahaan tata boga hingga pabrik roti juga cukup tinggi.
 
Peningkatan produk olahan hasil pertanian dan perikanan di sekolah ini juga akan dikembangkan. Sekolah berencana menyediakan mesin penggiling daging untuk membuat nugget.
 
Keterampilan siswa mengolah makanan dari produk pertanian sudah dimanfaatkan masyarakat dan instansi pemerintah setempat. Permintaan yang rutin adalah membuat susu kedelai dan roti untuk orang lanjut usia (lansia) yang diajak dalam program senam lansia.
 
Pembuatan susu kedelai yang dikemas dalam gelas plastik dan diberi merek susu kedelai esemka cukup laris. Harga jualnya Rp 1.000 per gelas.
 
Produk lain adalah tinta untuk spidol papan tulis (whiteboard). Produksi yang sudah berjalan dua tahun ini dilakukan siswa dengan program keahlian kimia industri.
 
Tinta bermerek Star Ink yang diproduksi siswa diutamakan untuk memenuhi kebutuhan sekolah dan sekolah mitra. Spidol lebih cepat kering dan harganya lebih murah, yakni Rp 9.000, sedangkan di pasaran mencapai Rp 12.000.
 
Kreativitas menghasilkan produk yang dilakukan siswa kimia industri pernah mengantarkan sekolah ini menjadi juara 3 dan 4 untuk Lomba Teknologi Terapan yang dilaksanakan Bappeda Provinsi Lampung. Siswa memanfaatkan sisa biodiesel dari tanaman jarak untuk dibuat menjadi surfaktan (bahan pembuat sabun). Siswa juga membuat sabun cuci cair yang ramah lingkungan menggunakan ekstrak daun sirih. Selain untuk memberi aroma, daun sirih juga berfungsi untuk desinfektan (penghilang kuman).
 
Bercocok tanam
 
Sebagai sekolah pertanian, keahlian bercocok tanam tidak dilupakan. Di lahan sekolah, siswa menanam bunga kol, seledri, dan tanaman hias. Di lahan khusus budidaya, ada tanaman buah naga, semangka, jagung, singkong, hingga padi.
 
”Jika panen melimpah, kami minta siswa untuk bisa menjual. Terserah menjual ke mana, ke teman, keluarga, atau pasar. Jadi, siswa bisa belajar dari memproduksi sampai menjual,” kata Sutarman, Kepala SMKN 2 Metro.
 
Keahlian lain adalah agrobisnis perikanan dan ternak unggas. Di kedua bidang ini, sekolah bekerja sama dengan perusahaan yang melibatkan siswa dalam rangka peningkatan kompetensi.
 
Menurut Sutarman, meski permintaan tenaga kerja di bidang pertanian meningkat, sekolah juga mempersiapkan siswa untuk mandiri. Ester Lince Napitupulu


Post Date : 03 Maret 2012