Pencacah sampah organik jinjing yang relatif ringan memudahkan siapa pun yang ingin mengolah sendiri sampah organiknya untuk dijadikan pupuk kompos. Dosen dan peneliti pada Program Studi Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, Isdaryanto Iskandar, merancang alat tersebut.
Meskipun banyak orang sadar dapat memanfaatkan sampah organik menjadi pupuk kompos, tetap saja sampah itu sekarang masih banyak yang dibuang percuma,” kata Isdaryanto, Rabu (8/6) di Jakarta.
Penyebab keengganan, salah satunya tidak tersedia ruang yang cukup leluasa untuk mendekomposisi sampah organik hingga menjadi kompos. Apalagi proses dekomposisi sampah organik yang tidak dicacah akan memakan waktu lama, hingga berbulan-bulan.
Potongan sayur, sisa nasi atau makanan lainnya, ranting, serta dedaunan dari taman menjadi bahan kompos skala rumah tangga. Bila ditimbun pada suatu tempat, akan membutuhkan waktu lama untuk proses pelapukan hingga menjadi kompos.
Pencacahan sampah organik menjadi proses penting dalam pembuatan kompos. Pencacahan akan memperluas sebaran mikroorganisme pada sampah organik sehingga lebih mudah dan lebih cepat proses pelapukannya, hingga 5 hari sampai 10 hari sudah menjadi kompos yang dikeringkan.
”Sebenarnya dengan alat ini tidak sekadar dibuat pencacahan, tetapi penghalusan sampah organik hingga menjadi seperti bubur,” kata Isdaryanto.
Tahan karat
Alat pencacah sampah organik dirancang dengan bobot sekitar 15 kilogram. Seorang dewasa normal akan leluasa membawa dan memindah-mindahkannya.
Komponen utama peralatan tersebut berupa poros penggerak pisau, pisau, dan tabung pengungkung sampah yang dicacah yang harus terbuat dari logam baja tahan karat.
”Sampah yang dicacah akan mengeluarkan air yang dapat menyebabkan logam berkarat,” kata Isdaryanto.
Kapasitas peralatan itu dirancang untuk pengolahan sampah organik maksimum 15 kg per jam. Biaya yang dibutuhkan secara total untuk membuatnya sekitar Rp 2 juta per unit.
Isdaryanto menggunakan pelat baja tahan karat ukuran SS306 yang mudah dijumpai di pasaran. Ia mendesain pelat baja itu menjadi enam bilah pisau yang kemudian diasah tajam.
Ukuran pelat baja dibuat menjadi bilah pisau berdiameter 15 sentimeter dan disusun tiga lapis. Poros penggerak pisau itu akan digerakkan dengan motor berkekuatan 0,5 tenaga kuda (horse power/HP) dengan daya listrik 350 watt.
”Di Jakarta, semua kebutuhan komponen peralatan ini mudah sekali dijumpai di Glodok,” kata Isdaryanto.
Tabung yang mengungkung pencacahan sampah organik pun haruslah terbuat dari logam baja tahan karat. Tabung itu dirancang berdiameter 60 cm dengan ketebalan 40 cm.
Rekayasa pencacah sampah organik tersebut menjadi bagian riset pengembangan fasilitas kantin Universitas Katolik (Unika) Atma Jaya Jakarta untuk periode 2009-2010. Program tersebut bersamaan dengan perekayasaan pembuatan alat pencuci piring otomatis yang higienis dan pembuat es otomatis.
Tanda-tanda kompos
Sampah organik yang dicacah menjadi bubur sudah siap untuk proses pengomposan. Pada kurun waktu beberapa hari, tanda-tanda kompos matang secara fisik mudah dikenali, yaitu ketika bubur sampah organik menjadi kering. Sifatnya pun menjadi remah dan tidak terlihat bentuk aslinya.
Kompos yang masih mentah tidak baik untuk digunakan. Komposisi kompos yang masih mentah akan mengikat nitrogen di dalam tanah sehingga mengurangi pasokan nitrogen ke dalam tumbuhan.
Pengomposan bubur sampah organik sebetulnya juga dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan biogas. Dibutuhkan proses anaerob agar tidak terkontaminasi oksigen untuk menghasilkan gas metana selama proses dekomposisi bubur sampah organik tersebut.
Hasil rekayasa pencacah sampah organik itu sekarang diteruskan untuk pengembangan riset teknobiologi. Masih terbuka kemungkinan untuk mencapai optimalisasi manfaat, seperti untuk pengembangan biogas selain untuk memperoleh pupuk kompos secara lebih cepat.
Isdaryanto kini memudahkan sebagian masyarakat yang makin menyadari pentingnya mengolah sampah organik. Namun, sebagian masyarakat itu masih sulit bertindak.
Kini, ingin menjadi bagian dari pemecahan masalah sampah mudah saja. Nawa Tunggal
Post Date : 10 Juni 2011
|