|
Jakarta, Kompas - Untuk mengatasi pencemaran limbah detergen yang terakumulasi di Situ Tipar, Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jakarta Timur dan BPLHD DKI Jakarta akan berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup. Situ Tipar berada di perbatasan antara Kabupaten Depok dan Jakarta Timur sehingga tidak mungkin hanya diatasi oleh Jakarta. Hal itu dikatakan Kepala BPLHD Jakarta Timur Suryadarma dan Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan BPLHD DKI Jakarta Junani Kartawiria secara terpisah, Minggu (26/12). Dikatakan, limbah yang bermuara di Situ Tipar banyak berasal dari Mekarsari dan Cimanggis, Depok. "Semua mengalir ke Situ Tipar sebab industri ada di Depok, kami tidak berwenang menegurnya. Kasus seperti ini pernah terjadi pada tahun 1996," kata Suryadarma. Menurut Junani, setelah diteliti, memang air Situ Tipar banyak mengandung nitrogen dan fosfat. Ini menyebabkan penyuburan dan pendangkalan. "Kalau subur, otomatis akan banyak tanaman tumbuh seperti eceng gondok. Lama-lama situ akan dangkal dan air meluap," katanya. Ditambahkan, ada tiga saluran yang semuanya bermuara ke Situ Tipar sehingga kalau hujan lebat pasti air meluap. Memang ada cara menanggulangi melubernya air dari situ, yaitu dengan membuat sodetan dihubungkan dengan Kali Cipinang. Namun, itu tidak akan menghilangkan pencemarannya. Muara Gembong Sementara itu, ratusan nelayan Muara Bendera di Desa Pantai Bahagia, Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, mengeluhkan pembuangan limbah industri yang kerap mencemari pantai di utara Jakarta itu. "Untuk mendapat satu atau dua kilogram ikan dari laut sudah susah karena pencemaran limbah. Justru nelayan lebih mudah menemukan bangkai," kata Zainudin, tokoh nelayan setempat. Nelayan mengeluhkan semakin banyaknya kapal penangkap ikan yang dilengkapi pukat harimau. Para nelayan mengaku mereka sering diteror dengan senjata api jika nekat mendekati kawasan yang dikuasai pemilik kapal tersebut. Setiap tahun tangkapan ikan mencapai 1.500 ton dan 5.000-6.000 ton dari tambak. Akan tetapi, karena infrastruktur jalan tidak memadai, nelayan memilih menjual langsung ke Cilincing, Jakarta Utara. Akibatnya, Bekasi kehilangan potensi pendapatan asli daerah Rp 2 miliar setiap bulannya. (IVV/ELN) Post Date : 27 Desember 2004 |