|
Tahun 2005 beberapa hari lagi akan berlalu. Namun, kemelut keberadaan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu atau TPST di Desa Bojong, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor, belum ada tanda-tanda akan berlalu. Pasalnya, hingga saat ini belum ada kepastian nasib TPST milik PT Wira Guna Sejahtera tersebut. Apakah akan beroperasi, ditutup, atau direlokasi. Perseteruan setuju dan menolak atas keberadaan TPST Bojong seakan tidak bisa diselesaikan. Kedua belah pihak yang berseteru, sampai tulisan ini dibuat, sepertinya tidak menemukan titik temu. Keduanya bergeming pada posisi atau keinginan masing-masing walaupun mereka sama-sama mengatakan tetap ingin berdialog menyelesaikan persoalan TPST tersebut. Kelompok yang setuju tetap menginginkan TPST beroperasi. Paling tidak, uji coba mesin-mesin TPST tersebut dalam jangka tertentu. Yang masuk kelompok ini adalah Pemerintah Kabupaten Bogor, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, manajemen PT Wira Guna Sejahtera (WGS), dan masyarakat yang bergabung dalam Kelompok Pro-Solusi TPST Bojong. Sedangkan kelompok yang menolak pengoperasian TPST Bojong adalah masyarakat yang bergabung dalam Forum Komunikasi Peduli Lingkungan (FKPL) Desa Bojong dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta. Yang setuju TPST Bojong mengatakan, tidak bijaksana langsung memvonis TPST pasti mencemari lingkungan Desa Bojong dan sekitarnya, tanpa memberi kesempatan untuk uji coba mesin-mesin pengolahan sampahnya. Asisten Daerah Pembangunan Kabupaten Bogor, Iyang Saputra, dengan tegas mengatakan, Bupati Bogor mengeluarkan izin operasi TPST tidak sembarangan, tetapi melalui serangkaian prosedur pemeriksaan dan penelitian, termasuk mencermati proses analisis mengenai dampak lingkungan (amdal)-nya. TPST ini adalah proyek pengolahan sampah, bukan proyek tempat pembuangan akhir (TPA) sampah, dan diharapkan ke depannya dapat menjadi solusi masalah sampah di Jakarta dan Kabupaten Bogor. Kelompok penolak menegaskan, Desa Bojong bukan keranjang sampah DKI Jakarta. Alasannya, lokasi TPST Bojong berada di tengah-tengah lingkungan perumahan rakyat, yang artinya melanggar ketentuan standardisasi sebuah proyek TPS. Rencana Umum Tata Ruang Kecamatan Cileungsi (sebelum pemekaran tahun 2001, Desa Bojong masuk Kecamatan Cileungsi), yang berlaku sampai tahun 2008 pun, menyatakan kawasan tersebut untuk permukiman dan pariwisata. Para penolak juga meyakini teknologi yang dipakai TPST Bojong tidak memadai sehingga dipastikan akan terjadi pencemaran lingkungan. Detail perbedaan pendapat antara dua kelompok yang berseteru ini amat panjang. Jika rajin mengamati masalah TPST Bojong lewat media massa, pasti tahu detail perbedaan tersebut. Pasalnya, kedua belah pihak lebih banyak saling menyampaikan argumentasinya lewat media massa. Nyaris tak ada pertemuan kedua kelompok ini dalam satu meja atau forum, yang kemudian menyampaikan argumentasi masing-masing dengan kepala jernih dan hati dingin. Pertemuan antara dua kubu yang pernah difasilitasi DPRD Kabupaten Bogor pun tampaknya tidak melahirkan solusi yang disepakati dan ditaati mereka. Ini dapat dibuktikan dengan terjadinya pemblokiran total jalan masuk ke TPST pada 30 November lalu oleh para penolak TPST. Ini adalah aksi menonjol kedua setelah peristiwa kerusuhan pada 22 November 2004. Buntut peristiwa kerusuhan itu, antara lain, 17 warga Bojong ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara empat sampai sembilan bulan karena terbukti melakukan perusakan berbagai aset TPST. Enam personel Kepolisian Resor Bogor juga mendapat sanksi karena dinilai menyalahi prosedur penanganan demonstrasi warga. Pihak PT WGS pun mengalami kerugian materi yang bila dirupiahkan sekitar delapan miliar rupiah. Tidak terencana matang Sungguh mengherankan mengapa masalah TPST Bojong ini sepertinya tidak dapat diselesaikan dengan baik. Padahal, semua pihak rasanya memahami bahwa persoalan sampah adalah persoalan bersama. Semua pihak juga menginginkan ada solusi yang baik dalam mengatasi masalah persampahan ini. Tidak tertutup kemungkinan TPST Bojong menjadi alternatif penyelesaian masalah persampahan. Karena itu, sangat disayangkan kalau para penolak TPST yang bergabung dalam Forum Komunikasi Peduli Lingkungan Desa Bojong menolak TPST hanya karena ketakutan yang berlebihan terhadap sampah. Sebagaimana yang disampaikan berkali-kali oleh ketuanya, Mirza al Amir, mereka tidak menolak proyek pembangunan, tetapi menolak sampah. Walhi Jakarta, yang mengadvokasi anggota FKPL, juga memublikasikan alasan mereka menolak TPST Bojong. Dari publikasinya itu, antara lain, Walhi melihat TPST Bojong semata-mata sebagai tempat lokasi pembuangan sampah atau TPA, bukan sebagai sebuah tempat pengolahan sampah. Secara harfiah, kata tempat pembuangan dan tempat pengolahan jelas berbeda. Kalau TPST Bojong hanya sebagai TPA, betul analisa Walhi, Desa Bojong akan bernasib sama dengan Bantargebang, Bekasi. Walhi pun menegaskan pemberian izin operasi TPST bertentangan dengan RUTR Kecamatan Cileungsi, yang menyebutkan wilayah tersebut untuk permukiman dan pariwisata. Juga lokasi TPST Bojong tidak sesuai dengan ketentuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor T-11-1991-03 tentang Tata Cara Pemilihan TPA. Perubahan teknologi yang dipakai TPST yang semula hanya ballapress, lalu ditambah insenerator, dinilai sebagai bukti tidak ada perencanaan matang atas proyek tersebut. Hingga kini hanya ada satu rangkaian mesin pengolah sampah yang kapasitas produksinya hanya untuk mengolah sampah sebanyak 500 ton, dinilai tidak sesuai dengan janji PT WGS yang akan mengoperasikan minimal tiga rangkaian mesin pengolahan sampah untuk menangani 2.000 ton sampah per hari. Sebetulnya, atas semua gugatan para penolak TPST tersebut, pihak Pemkab Bogor dan PT WGS sudah memberi jawaban. Menurut Asisten Daerah Pembangunan Kabupaten Bogor Iyang Saputra, keberadaan TPST tidak melanggar RUTR karena di wilayah tersebut dimungkinkan juga untuk lokasi industri/ pabrik, selain perumahan dan pariwisata. Ia menganalogikan ibarat permukaan meja, di mana di sana ditaruh berbagai barang, bukan cuma untuk menaruh buku dan pulpen. Ia juga memastikan lahan 20 hektar yang dijadikan lokasi TPST adalah lahan tidak produktif bagi usaha pertanian. Sedangkan kapasitas mesin yang baru terpasang saat ini, pihak PT WGS mengatakan, karena masih dalam rangka uji coba mesin-mesin dahulu, sebagaimana layaknya sebuah mesin industri. Uji coba mesin ini diperlukan karena sampai saat ini belum ada teknologi pengolahan sampah yang persis dengan teknologi yang dipakai TPST Bojong. Setelah diuji dan dipastikan, semuanya berlangsung sesuai dengan hitung-hitungannya di atas kertas, baru pemasangan mesin-mesin dilaksanakan secara penuh. Iyang Saputra dan Direktur Utama PT WGS Sofian memastikan, jika ternyata TPST Bojong mencemari lingkungan, otomatis operasi TPST ditutup. Berkaitan dengan itu, keduanya berpendapat, proses uji coba mesin-mesin itu adalah keharusan, sebelum keputusan akhir diambil, yakni TPST Bojong ditutup atau layak beroperasi. Butuh kearifan Kalau mau jujur, sebetulnya keberatan atas TPST Bojong dan sanggahan atas keberatan itu sudah diketahui masing-masing pihak. Namun, mengapa masalah TPST Bojong berlarut-larut. Kesalahan pertama mungkin karena Pemerintah Kabupaten Bogor tidak menanggapi serius ketika mulai muncul penolakan- penolakan atas keberadaan TPST. Mungkin perlu kearifan dalam menangani masalah ini. RATIH P SUDARSONO Post Date : 26 Desember 2005 |