|
SAMPAH telah menjadi isu sentral seluruh pemerintah daerah. Penanganan sampah membutuhkan lebih dari sekadar pengangkutan, pembuangan, dan penimbunan. Munculnya persoalan TPST Bojong Kab. Bogor, longsornya TPA Leuwigajah di Kota Cimahi, jenuhnya TPA Bantar Gebang Kab. Bekasi mengundang pertanyaan. Pengelolaan sampah seperti apa yang layak diterapkan? Ditilik secara harfiah, sampah adalah sesuatu yang tidak berguna lagi atau dibuang oleh pemilik atau pemakainya semula. Sumbernya bisa berasal dari berbagai macam aktivitas manusia, mulai dari aktivitas pemukiman, pertanian, pembangunan gedung, perdagangan, perkantoran, dan industri. Sampai saat ini, penanganan sampah di negara kita sebagian besar menggunakan sistem sanitary landfill. Sampah dibuang ke TPA (tempat pembuangan akhir), kemudian dipadatkan dengan traktor dan selanjutnya di tutup tanah. Pada bagian dasar dilengkapi sistem saluran leachate (licit-Red) yang berfungsi sebagai saluran limbah cair sampah yang harus diolah terlebih dulu, sebelum dibuang ke sungai atau ke lingkungan. Pada sistem ini juga dipasang pipa gas untuk mengalirkan gas hasil aktivitas penguraian sampah. Sistem ini sudah banyak ditinggalkan negara-negara maju, karena memiliki sejumlah kelemahan antara lain memerlukan lahan yang luas serta kebocoran ke dalam sumber air yang tidak dapat ditoleransi. Dampak utama sanitary landfill adalah kerusakan lingkungan. Seattle, salah satu kota di Amerika Serikat pernah mengalami krisis sampah pada tahun 1987 setelah dua tempat pembuangan sampahnya ditutup. Pemulihan lingkungan akibat adanya pembuangan sampah tersebut, memerlukan biaya lebih dari 90 juta dollar AS! Besarnya biaya yang harus ditanggung menjadi titik balik pemerintah Seattle untuk lebih serius menangani persoalan sampah. Keseriusan adalah salah satu poin penting yang membedakan berhasil atau tidaknya pengelolaan sampah. Poin inilah yang menurut Dadang Sudarga dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jabar tidak dimiliki Pemkot Bandung. Hal itu antara lain terlihat dari tidak adanya upaya penyadaran kepada masyarakat yang terintegrasi dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Saya melihat sepertinya tindakan pemkot yang berkaitan dengan persoalan sampah tidak ada kesungguhan. Padahal, ini persoalan serius. Seperti soal pencarian lahan TPA baru. Kami yang tergabung dalam tim teknis sudah mensurvei sejumlah lokasi, tapi tidak pernah ada tindak lanjut, ujarnya. Dadang juga menekankan perlunya payung hukum yang jelas soal penanganan sampah berupa peraturan daerah (perda) yang dijalankan dengan konsisten. Ketidakseriusan pemerintah menurutnya juga dengan tidak adanya sharing bersama masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran dan menjadikan penanganan sampah sebagai persoalan bersama. Di Seattle, perubahan besar terjadi ketika dinas pekerjaan umum setempat memunculkan program daur ulang. Rencana pun berjalan sehingga reducing, reusing, dan recycling menjadi bagian penting dalam sistem manajemen sampah di sana. Program daur ulang sampah di Seattle menjadi kisah sukses ternama di seluruh dunia dan menjadi bahan observasi sejumlah badan pengelola sampah. Tingkat daur ulang meningkat dari 28% sampah tahun 1988 menjadi 44% pada 1999. Setiap keluarga mendaur ulang 60% sampahnya pada tahun tersebut. Kesadaran masyarakat bahwa sampah merupakan persoalan bersama harus dimunculkan seiring pembangunan infrastuktur yang sesuai. Ambil contoh soal pemilahan sampah. Pembangunan kesadaran soal ini harus dibarengi penyediaan tempat sampah dan sistem pengangkutan yang berbeda. Saga, sebuah wilayah di Jepang, memiliki sistem persampahan yang sangat rumit dengan enam kategori pemisahan sampah. Sampah yang bisa dibakar menjadi kompos seperti tanaman, sepatu bekas, kertas, barang pecah belah yang tidak mudah terbakar seperti keramik, wadah plastik, sampah medis berbahaya, sumber yang bisa diperbaharui seperi kaleng aluminium , botol kaca, surat kabar, karton, majalah, buku, selimut dsb. serta perabotan rumah tangga berukuran besar. Sampah tersebut nantinya dijemput dengan truk berbeda pada waktu-waktu yang berlainan. Sebuah kota lainnya di Jepang bahkan mengeluarkan daftar barang-barang yang bisa didaur ulang dan tidak akan diangkut dalam pengangkutan sampah. Pengangkutan sampah pun dikenakan biaya yang cukup besar dan diperlukan pendaftaran sebelumnya. Berbagai contoh penanganan sampah bukan tidak mungkin dapat diterapkan oleh Pemerintah Kota Bandung. Yang diperlukan adalah keseriusan dalam menetapkan dan menjalankan kebijakan serta mendorong partisipasi aktif masyarakat. Wali Kota Bandung Dada Rosada mengatakan, pemerintah kota masih sanggup menangani persoalan sampah yang menurutnya, tidak perlu diserahkan kepada pemerintah pusat. Ia menjamin bahwa secara bertahap penanganan sampah akan terus diperbaiki dari sanitary landfill menuju pengolahan menjadi energi listrik. Masyarakat tentunya dapat menunggu realisasi pelaksanaan janji pemerintah tersebut. Sementara itu, PD Kebersihan Kota Bandung belum akan dapat memperbaiki diri dan manajemennya karena terus berkutat dengan masalah intern terutama yang berkaitan dengan kebutuhan anggaran. Pengelolaan sampah kita jauh panggang dari api dengan Seattle. Tapi kita berharap pemerintah dapat mengalami titik balik lebih cepat sebelum harus membayar kerugian akibat dampak lingkungan jutaan dolar AS. MUSIBAH longsor Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah pada 21 Februari 2005, menyisakan begitu banyak persoalan. Selain belum tuntasnya penyelesaian ganti rugi dan pembebasan lahan yang tekena longsor, penanganan sampah di kawasan Bandung Raya belum terselesaikan secara paripurna. Tidak hanya di Kota Bandung, masalah sampah pun menjadi persoalan besar bagi Kota Cimahi. Apalagi, baik Kota Bandung atau pun Kota Cimahi, belum juga mendapat tempat baru yang bisa digunakan sebagai TPA alternatif. Tak mengherankan, jika banyak terjadi penumpukan sampah di sejumlah TPS (tempat pembuangan sementara). Sementara itu, ancaman yang lebih besar lagi menghadang pemerintah dan masyarakat Kota Bandung dan Cimahi. Karena menjelang habisnya masa penggunaan TPA Jelekong di Kab. Bandung pada 31 Desember 2005 nanti, Kota Cimahi tidak bisa ikut lagi membuang sampahnya ke sana. Meskipun jumlahnya tidak sebanyak Kota Bandung karena hanya 90 m3/hari, setidaknya hal itu bisa mengurangi tumpukan sampah di Cimahi. Padahal, menurut Kepala UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah) Kebersihan Kota Cimahi, H. Entis Sutisna, volume sampah yang dihasilkan masyarakat Kota Cimahi mencapai 1.150 m3/hari. Angka itu muncul dengan asumsi bahwa setiap penduduk menghasilkan sampah 2,5 liter/hari. Sementara, jumlah penduduk di Cimahi diperkirakan mencapai 460.000 jiwa. Berdasarkan data di UPTD Kebersihan Kota Cimahi, sebelum longsor TPA Leuwigajah pada 21 Februari 2005 lalu, volume sampah yang terangkut ke TPA hanya 65 rit atau 450 m3/hari. Akibatnya, sebagian besar lainnya terpaksa menginap di TPS. Sementara, pascalongsor, Pemkot Cimahi hanya diizinkan membuang sampah sebanyak 13 rit atau 90 m3/hari ke TPA Jelekong. Tak mengherankan jika tumpukan sampah yang tak terangkut semakin banyak lagi. Akibatnya, protes dari masyarakat, khususnya di sekitar pasar, datang silih berganti kepada petugas UPTD Kebersihan Cimahi. Meskipun pemerintah menggalakkan program komposting, hal itu tidak signifikan untuk mereduksi jumlah sampah yang ada. Apalagi, kesadaran masyarakat untuk memilah sampah antara yang organik dengan bukan organik sejak dari rumah tangga masih kurang. Lantas persoalannya, bagaimana nasib sampah Kota Cimahi setelah TPA Jelekong ditutup pada akhir Desember nanti? Sementara, usulan Kota Cimahi untuk menggunakan lokasi Kp. Cileungsing, Desa Citatah, Kec. Cipatat sebagai TPA alternatif, belum mendapat restu dari Pemkab Bandung. Bahkan, bukan tidak mungkin, prosesnya masih cukup panjang. Selain harus menempuh persyaratan administratif, mereka juga harus melakukan pendekatan kepada masyarakat sekitar. Tentu saja, hal itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Apalagi, masyarakat sudah cukup trauma dengan musibah TPA Leuwigajah yang memakan korban jiwa cukup banyak. Namun demikian, Wali Kota Cimahi, Ir. H.M. Itoc Tochija, M.M., tetap mengharapkan political will dari Pemkab Bandung, dalam penanganan sampah di Bandung Raya. Salah satunya, dengan mempermudah perizinan penggunaan lahan TPA alternatif di Citatah, untuk dijadikan tempat pengolahan sampah dari Cimahi. Apalagi, ia berkeyakinan bahwa masyarakat di sekitar Citatah sudah merespons baik usulan tersebut. Karena sampah dari Cimahi tidak sekadar dibuang ke sana, tapi diharapkan didaur ulang sehingga memiliki nilai ekonomis bagi masyarakat di sekitarnya. Kebutuhan tersebut, katanya, sangat mendesak sambil menunggu kegiatan yang lebih terintegrasi, dalam pengelolaan sampah yang difasilitasi oleh Pemerintah Provinsi Jabar. Bahkan, diharapkan program itu bisa didukung oleh Pemerintah Pusat dalam hal pendanaan. Mengingat, masalah kebersihan dan sampah itu menjadi tanggung jawab bersama. Oleh karena itu, harus ada kebersamaan dalam mengelola sampah, khususnya di kawasan Bandung Raya. Semua pihak, tentunya harus bercermin terhadap bencana longsor TPA Leuwigajah. Sementara, sebelumnya ada kecenderungan bahwa masalah sampah ini hanya merupakan persoalan pemerintah daerah. Selama itu pula, Pemerintah Pusat hanya memberikan stimulan atau bantuan berupa peralatan, untuk digunakan dalam penanganan sampah. Dengan demikian, penanganannya sendiri didominasi oleh pemerintah daerah dengan berbagai keterbatasan, khususnya masalah pendanaan. Namun, lagi-lagi muncul pertanyaan apakah perencanaan yang dibuat pemerintah ini akan berjalan mulus? Mengingat, baru-baru ini saja masyarakat di sekitar Citatah menolak rencana pembangunan TPA tersebut. Apalagi, usulan untuk lokasi tempat pembuangan sampah di Citatah, tidak hanya di satu titik. Selain yang diusulkan Kota Cimahi, Kota Bandung pun mengusulkan dua titik lainnya. Tentu saja, warga di sekitar Citatah khawatir, akan terjadi pencemaran di banyak tempat. Kondisi semacam itu tentu saja menempatkan Pemkab Bandung dalam posisi yang serba sulit. Di satu pihak, Pemkab Bandung mempunyai tanggung jawab untuk ikut menangani masalah sampah di Bandung Raya, sebagaimana yang disampaikan Bupati Bandung, H. Obar Sobarna, S.Ip. Tapi di sisi lain, masyarakat menentang hal itu. Karena itulah, Pemkab Bandung sampai saat ini masih meneliti titik-titik yang diusulkan oleh Kota Bandung dan Kota Cimahi untuk dijadikan TPA alternatif. Namun, belum juga usulan untuk penentuan TPA alternatif diputuskan, Pemkab Bandung kembali dihadapkan pada hal yang dilematis. Hal itu menyikapi permintaan Kota Bandung yang minta izin agar bisa membuang sampah ke TPA Babakan. Mengingat, masa penggunaan TPA Jelekong akan habis pada 31 Desember ini. Sementara, mereka belum mendapat TPA alternatif lain. Namun, keinginan itu ditentang keras masyarakat di sekitar TPA Babakan. Lagi-lagi, Pemkab Bandung diposisikan pada keadaan yang serba sulit. Di satu sisi ingin membantu kota tetangga yang tengah kesulitan membuang sampah. Namun, di sisi lain, mereka diancam warganya sendiri. Jika Pemkab Bandung mengizinkan sampah dari Kota Bandung dibuang ke TPA Babakan, bukan tidak mungkin, warga akan menutup TPA itu. Jika hal itu terjadi, jangankan sampah dari Kota Bandung, sampah dari Kab. Bandung pun belum tentu bisa dibuang ke sana. Warning tersebut telah disampaikan kepada Dinas Kebersihan Kab. Bandung. Kondisi tersebut diakui oleh jajaran Dinas Kebersihan Kab. Bandung. Penolakan warga itu terkait dengan belum memadainya infrastruktur TPA Babakan, baik itu dinding penahan lokasi TPA, drainase untuk pembuangan air lindi, pipa pembuang gas metan, atau pun jalan menuju ke TPA yang belum terbangun secara maksimal. Buktinya, tidak jarang truk-truk pengangkut sampah harus didorong oleh alat berat untuk mencapai landasan pembuangan sampah karena medannya yang terjal. Permasalahan itu tentu saja harus dipertimbangkan matang-matang oleh Pemkab Bandung. Apalagi, masyarakat di sana sempat melakukan penghadangan ketika sampah dari Kota Bandung sempat dibuang ke TPA Babakan, sebagaimana yang terjadi menjelang Konfrensi Asia Afrika (KAA) beberapa waktu lalu. Sementara itu, berdasarkan riwayat yang ada pada Dinas Kebersihan Kab. Bandung, TPA Babakan itu sebelumnya hanya merupakan TPA alternatif. Namun, pasca musibah longsor TPA Leuwigajah, penggunaan TPA itu dimaksimalkan untuk tempat pembuangan sebagian sampah dari Kab. Bandung. Karena dari 8.000 m3 sampah yang dihasilkan masyarakat Kab. Bandungdengan asumsi bahwa 4,1 juta penduduk Kab. Bandung menghasilkan sampah 2 liter/hari/jiwasampah yang dibuang ke TPA Babakan hanya sekira 800 m3/hari. Jumlah itu pun, baru sekira 15,40 persen/hari dari 3.000 m3/hari cakupan sampah yang harus diangkut Dinas Kebersihan Kab. Bandung. Mengingat wilayah Kab. Bandung begitu luas. Dengan demikian, Dinas Kebersihan Kab. Bandung hanya terkonsentrasi untuk mengangkut sampah di 36 persen wilayah perkotaan. Sementara, sebagian kecilnya lagi, dibuang ke TPA Pasirbulu, Lembang. Lantas, jika masyarakat TPA Babakan menolak rencana pembungan sampah dari Kota Bandung, kebijakan seperti apa yang akan diambil oleh Pemkab Bandung. Sementara itu, masa penggunaan TPA Jelekong tinggal beberapa hari lagi. Begitu pula dengan rencana pembangunan TPA alternatif di Desa Citatah, Kec. Cipatat yang diajukan oleh Kota Bandung dan Kota Cimahi. Namun, kurang bijak rasanya jika penyelesaian semua permasalahan itu hanya dibebankan kepada Pemkab Bandung. Sementara itu, baik itu Kota Cimahi atau pun Kota Bandung, masih berkeinginan untuk mengusulkan tempat berbeda di Desa Citatah untuk dijadikan tempat pembuangan sementara. Namun, kenapa tidak jika kedua daerah ini mempunyai keseriusan dan keinginan yang sama untuk mengelola sampah, lantas memilih satu lokasi yang dianggap pas. Hal itu tentunya, akan lebih memudahkan dalam melakukan pengkajian, penelitian, dan pendekatan kepada masyarakatnya. Tidak seperti sekarang, yang diusulkan tiga titik sehingga pembahasannya tak berujung. (uwie/eri mulyani/PR) Post Date : 22 Desember 2005 |