Penanganan Banjir Tidak Semudah Membalikkan Tangan

Sumber:Suara Pembaruan - 17 November 2007
Kategori:Banjir di Jakarta
Masih segar dalam ingatan kita, ketika Februari lalu, hampir 70 persen wilayah Jakarta terendam air. Banjir yang terjadi itu merupakan siklus lima tahunan. Namun banjir kala itu, lebih meluas jika dibandingkan pada banjir 2002 lalu. Kini meski belum masuk dalam tahapan siklus lima tahunan, namun hampir sebagian besar warga Jakarta kembali diliputi rasa cemas. Hujan deras, baik yang terjadi di Jakarta atau pun Bogor, sempat merendam beberapa kawasan Ibukota.

Kawasan Kampung Melayu Kecil, Jakarta Timur, Bukit Duri, Jakarta Selatan merupakan wilayah yang selalu "setia" direndam banjir. Air "kiriman" dari Bogor memang selalu menjadi kambing hitam ben- cana banjir yang menimpa Jakarta.

Masyarakat selalu berasumsi, jika Kota Bogor terus diguyur hujan, menjadikan Bendungan Katulampa tidak mampu membendung air, sehingga meluber dan berjalan ke Jakarta. Akibatnya, Jakarta kembali mengalami kebanjiran.

Namun yang anehnya, peristiwa ini menjadi "kegiatan" rutin setiap tahun, tetapi mengapa Jakarta selalu terendam? Apakah Pemprov DKI Jakarta dan masyarakat tidak mampu meminimalkan atau menghilangkan "kegiatan" tersebut? Kenyataannya dari tahun ke tahun, Jakarta yang merupakan Kota Metropolitan tetap terendam.

Sebenarnya konsep untuk mengatasi banjir, khususnya pembangunan proyek kanal banjir timur (KBT) sudah ada sejak 1985. Namun, entah karena apa tiba-tiba proyek tersebut terhenti, baru kembali beroperasi pada 2007 ini. Sudah pasti biaya yang harus dikeluarkan lebih besar lagi. Sebanyak 66 persen lahan KBT yang sudah dibebaskan menghabiskan dana Rp 2,1 triliun dan masih tersisa dana Rp 600 miliar. Untuk 2007 saja, Pemprov menganggarkan Rp 850 miliar ditambah Rp 100 miliar dari APBN.

Bencana banjir yang menimpa Jakarta, memang tidak terlepas dari kebijakan salah yang diterapkan Pemprov DKI Jakarta. Seharusnya, Pemprov lebih jeli melihat master plan yang sudah ada sejak 1960-an.

Ketika itu kawasan Kelapa Gading merupakan daerah resapan air di wilayah utara. Namun karena berbagai kepentingan, perlahan-lahan kawasan tersebut berubah menjadi perumahan dan pusat perbelanjaan mewah yang otomatis "mematikan" resapan air. Karena itu, tidaklah mengherankan jika Kelapa Gading terus terendam, bahkan menjadi "penyumbang" banjir bagi daerah lain.

Biaya Besar

Namun, menurut mantan Kepala Proyek Banjir DKI Jakarta (1965-1985) Dr Martsanto, Jakarta tidak bisa hanya mengandalkan banjir kanal saja.

Tetapi, Jakarta juga harus membangun sistem mikro, yakni dengan membangun situ-situ kecil di daerah-daerah yang selama ini menjadi "penyumbang" air terbanyak.

Begitu juga dengan kebijakan Pemprov DKI Jakarta dalam memberikan izin kepada para pengembang. Sebaiknya pola membangun perumahan seperti real estate, tidak perlu lagi dilakukan. Rumah panggung menjadi salah satu solusi untuk mengurangi banjir. Karena keberadaan rumah panggung mampu mengurangi penutupan resapan air.

Langkah lainnya yakni membuat polder (bendungan) untuk menahan genangan air. Kemudian harus mampu memahami siklus hujan, siklus pasang surut air laut. Serta, perlunya perencanaan teknik hidraulik seluruh catchment area yang aliran sungainya masuk ke Jakarta.

Yang jelas, kita harus mampu mempelajari pola perilaku air itu sendiri. Untuk mengatasi banjir, tidaklah semudah itu. Diperlukan biaya yang cukup besar, bahkan tidak terbatas.

Menurut Kepala Suku Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Air Jakarta Barat, R Heryanto, saat ini pihaknya tengah melakukan pengerukan di beberapa kali. Ini dilakukan karena kali-kali yang ada sudah mengalami pendangkalan. "Idealnya kedalaman kali mencapai lima meter. Kami beru- saha minimal mengeruknya sampai tiga meter," ujar Heryanto.

Heryanto mengakui, pengerukan kali pada 2007 ini, tidak ada dalam anggaran. Namun karena hal itu mendesak, pihaknya bertekad tetap melakukan pengerukan tersebut. "Tahun depan sudah kami anggarkan. Kalau sekarang ini biar pakai dana dari Hamba Tuhan saja," ujarnya sambil mengungkapkan sekali melakukan pengerukan bisa memakan biaya sekitar Rp 6 juta.

Itu baru dana pengerukan, belum lagi pembebasan lahan di bantaran kali yang selama ini dianggap sebagai biang keladi bencana banjir.

Apa pun dalihnya, mengatasi banjir di Jakarta, tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Perlu koordinasi yang baik antara instansi-instansi terkait. Terlebih lagi, diperlukan dana yang sangat besar. (SP/Steven S Musa)



Post Date : 17 November 2007