|
JAKARTA(SINDO) – Dana yang diperlukan untuk penanganan banjir yang hampir setiap tahun melanda DKI Jakarta mencapai Rp22 triliun. Dana tersebut untuk normalisasi 17 kali, saluran submakro, dan pembangunan polder yang ditargetkan selesai pada 2012.Menurut Wakil Gubernur Prijanto, dana Rp22 triliun terbagi atas dua kewenangan.Pemerintah pusat akan menanggung Rp13,5 triliun untuk normalisasi saluran makro seperti program Banjir Kanal Timur (BKT) serta perbaikan 15 kali, di antaranya Kali Ciliwung, Kali Pesanggrahan, Kali Mookevart, dan Cakung Drain. ”Rinciannya adalah penyediaan lahan Rp6,9 triliun, pengerukan eksisting yang mencapai Rp1,56 triliun, penurapan yang mencapai Rp4,2 triliun, serta jalan inspeksi yang menyedot dana hingga Rp780 miliar,” kata Prijanto kemarin. Sementara itu, yang menjadi kewenangan Pemprov DKI Jakarta adalah normalisasi 19 saluran submakro yang akan menguras anggaran Rp2,6 triliun. Dana tersebut untuk penyediaan lahan normalisasi 19 saluran yang mencapai Rp1,8 triliun, pengerukan Rp144,6 miliar,dan penurapan Rp723 miliar. ”Jakarta selalu banjir karena RTH (ruang terbuka hijau) yang sejak 2005 semakin tergerus, penurunan muka tanah yang di satu daerah bisa mencapai -1,2 meter, sementara permukaan air laut yang semakin naik dan diperkirakan pada 2025 akan mencapai 6 meter,”lanjutnya. Pemprov DKI sedianya juga akan membuat 17 polder (tanggul,waduk,dan pompa) dengan dana mencapai Rp4,2 triliun. Sebanyak Rp1,67 triliun dialokasikan untuk penyediaan lahan serta Rp2,5 triliun untuk pembangunan fisik. Untuk meminimalisasi banjir yang terjadi di Jakarta Selatan seperti bilangan Menteng dan sekitarnya misalnya, akan dibangun polder Melati-Siantar dengan dana Rp43 miliar. Untuk mengendalikan banjir di kawasan Monas dan Istana Negara, dibangun polder Pluit dengan dana Rp514,5 miliar.Untuk kawasan Jakarta Utara, dibangun 14 polder, selain lima pompa yang saat ini telah dibuat. Sementara 9 waduk dan pompa baru juga segera dibangun. Prijanto menjelaskan, konsep pengendalian banjir ini dilaksanakan karena proyek BKT tidak dapat menjamin Jakarta akan bebas banjir. Pasalnya, BKT hanya dapat mengendalikan lima sungai yaitu Kali Cakung, Kali Kramat, Buaran, Sunter, dan Kali Cipinang. Sementara itu, pola pengendalian banjir yang dilakukan secara nonstruktural adalah sistem peringatan dini, pemetaan daerah rawan banjir,sistem tanggap darurat serta konservasi Daerah Aliran Sungai (DAS). ”Sebesar 40% daerah Jakarta berada di dataran rendah, di bawah muka laut pasang,” ungkapnya. BKT sendiri diharapkan dapat menjadi daerah tangkapan air seluas 21.100 ha dan cakupan daerah yang akan terlindungi banjir dari proyek ini mencapai 15.401 ha. Agar pengendalian banjir di Jakarta semakin maksimal, direncanakan juga untuk membangun Waduk Ciawi dan rencana pembangunan Cengkareng Drain II sebagai pengendali Kali Angke dan Kali Mookevart.Pemerintah juga akan menggalakkan lokasi sumur resapan yang saat ini sudah mencapai 83.063 titik serta lubang biopori yang telah mencapai 239.225 lubang di seluruh kawasan Jakarta. Ahli planologi dari Universitas Trisakti Yayat Supriatna mengatakan, pembangunan polder hanya efektif untuk mengantisipasi kendala banjir secara lokal.Apalagi, polder dengan model seperti tandon hanya dapat digunakan sebagai tempat parkir air sementara dengan kapasitas terbatas. DKI Jakarta yang daya dukung ekologisnya sudah semakin kritis, menurut Yayat tidak hanya dapat ditangani dengan program proyek fisik seperti pembangunan polder serta normalisasi waduk. ”Pemerintah juga harus mengiringinya dengan penghijauan serta mengajak masyarakat untuk sadar membuang sampah di tempatnya,”ujarnya. Yayat juga mengharapkan pemerintah tidak hanya membenahi sistem perairan hulu, tetapi juga membenahi drainase atau saluran air yang dapat mengalirkan air secara lokal langsung ke sungai lalu ke hulu. ”Pemerintah juga harus secepatnya melakukan penggusuran bangunan liar di atas bantaran kali agar daerah resapan air dapat berfungsi maksimal,” tegasnya. (neneng zubaidah) Post Date : 21 Oktober 2008 |